RADARBOYOLALI.COM-Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Boyolali membuat bank sampah induk (BSI) di Desa Kiringan, Boyolali Kota. Pembangunannya sudah rampung sejak tahun lalu, dan berasal dari dana alokasi khusus (DAK) senilai Rp 1,2 miliar. Tahun ini, operasional BSI akan berjalan.
DLH menyiapkan kelembagaan yang akan mengatur BSI untuk . BSI tersebut akan menampung sampah yang telah dipilah.
Kepala DLH Boyolali Wiwis Trisiwi Handayani mengatakan, upaya pengurangan sampah menyasar per individu masyarakat. Karena kondisi tempat pembuangan akhir (TPA) sudah kritis. Sehingga strategi pengurangan sampah dengan pemilahan dan bernilai jual. Pemkab lantas mengoptimalkan BSI di Desa Kiringan. BSI tersebut baru rampung dibangun tahun lalu. Tahun ini, operasional dan pendirian lembaga pengelola BSI akan dibuat.
“Lokasi BSI disesuaikan kebutuhan masyarakat, yakni, di Desa Kiringan, Boyolali Kota yang saat itu meminta bank sampah. Jadi tetap di sana, tetapi fungsi dari BSI menjadi tempat untuk menampung dengan diberikan satu kompensasi, istilahnya dijualah,” terangnya pada Jawa Pos Radar Solo, Jumat (24/3).
Lokasi BSI terletak di timur Balai Desa Kiringan atau belakang bekas SD Kiringan 2 Boyolali Kota. Tahun ini, BSI akan mulai difungsikan. Sedangkan luas lahan BSI mencapai 15×25 meter persegi dengan luas bangunan 7×12 meter persegi. Pihaknya masih bersiap untuk operasional BSI. Terutama dari sisi kelembagaan, sumber daya manusia (SDM) dan sarana prasarana (sarpras).
Paguyuban kelompok pemberdayaan masyarakat telah dibentuk. Baru nantinya akan dikaji, apakah akan membuat koperasi, badan usaha milik desa (BUMDes), yayasan atau lainnya. Kelembagaan pengelola BSI akan berada di bawah naungan DLH. kebutuhan BSI akan difasilitasi.
“Karena nanti mengarah ke lembagaannya, apa yang menguntungkan di sana. Kemudian karena BSI ini fasilitas pemerintah, walaupun berada di bawah tanah kas Desa Kiringan, namun, masih menjadi tanggung jawab kami untuk memfasilitasi sampai berhasil operasionalnya BSI,” terangnya.
BSI ini nantinya bukan sebagai bank sampah pemilah. Namun jadi pengepul yang bisa langsung membeli sampah dan organik dan bernilai jual. Kemudian, bank sampah unit bisa menjual sampah yang bisa didaur ulang ke BSI. Dia berharap, seluruh bank sampah unit ataupun desa yang berdaya dalam pemilihan sampah bisa masuk ke BSI. Meski hal tersebut memerlukan proses, sehingga edukasi dan pemahaman terus diberikan pada masyarakat.
Sebelumnya, kondisi TPA Winong, Boyolali Kota kritis. Setiap hari, ada 60 ton sampah yang masuk. Sedangkan lahan yang ada di TPA tersisa 6 hektare saja. Selama ini, jenis sampah yang masuk masih campur. Ada sampah rumah tangga, plastik, pasar dan lainnya. Tak hanya itu, dinas juga dibuat pusing dengan munculnya timbulan-timbulan sampah tanpa ada pengelolaan yang baik dan benar.
“Kami hanya punya sekitar lahan enam hektare, kalau dihitung-hitung kan bisa. Sehingga 2030, TPA itu akan hilang. Semua mengalir ke tingkat kecamatan. Di kecamatan pemberdayaan TPS 3R (reduce, reuse. recycle), kemudian ada bank sampahnya. Sehingga benar-benar ini menjadi masalah dunia, emergency terkait persampahan,” ungkapnya.
Upaya pengendalian sampah dilakukan dengan pengurangan sampah. Caranya, mengurangi sampah yang masuk ke TPA. Wiwis menyontohkan kasus pembuangan sampah Pasar Cepogo ke TPA. Saat itu, berton-ton sampah dibuang ke TPA. DLH lantas menerjunkan tim pemulung untuk membantu pemilahan. Bahkan mengajarkan ke pengelola sampah di tingkat hulu. Sampah yang bernilai ekonomis bisa dijual dan menjadi tambahan bagi pengelola sampah. (rgl/nik)