Mbah Bonggol Jati alias Syekh Maulana Ibrahim merupakan utusan Kesultanan Demak abad 15. Dia ditugaskan untuk menyebarkan Islam ke arah Selatan. Setiba di tanah Cepogo, Boyolali, dia menerapkan cara dakwah yang halus. Seperti apa kisahnya?
RAGIL LISTYO, Boyolali
SOSOKNYA yang sabar dan bisa membaur selalu melekat di benak masyarakat Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, Boyolali. Mbah Bonggol Jati dimakamkan di Pemakaman Puralaya, Dusun/Desa Sukabumi, Cepogo, bersama dengan murid dan anak cucunya.
Sesepuh desa setempat, K.H. Masykuri menjelaskan, Mbah Bonggol Jati merupakan murid Sunan Kalijaga. Nama asli Syekh Maulana Ibrahim. Dia diutus menyebarkan agama Islam ke selatan. Namanya berubah usai membaur dengan warga dan tradisi di Sukabumi.
”Syekh Maulana Ibrahim bisa melebur di masyarakat. Lalu namanya berubah menjadi Mbah Bonggol Jati. Nah, beliau ini membuat rumahan dari kayu untuk mengajarkan agama. Lokasinya ya di makam Puralaya ini,” ungkapnya pada Jawa Pos Radar Solo.
Joglo tempat Mbah Bonggol Jati mengajar kini dinamai Joglo Pasegban. Ukurannya 3 x 3 meter persegi. Di joglo tersebut, Mbah Bonggol Jati mengajarkan agama hingga berbuah tradisi hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam, yakni sadranan.
Awalnya ada tradisi bubak, yakni membersihkan makam. Tradisi ini sudah berjalan lama di kalangan masyarakat Jawa. Mbah Bonggol Jati saat itu tidak melarangnya. Dia bahkan ikut membaur dengan masyarakat sambil menyisipkan ajaran-ajaran Islam secara halus.
Dari tradisi bubak ini muncul nilai gotong-royong. Sehingga bubak dilakukan serentak. Setelah bubak, masyarakat akan membawa makanan hasil bumi dan makan bersama. Meski sederhana, namun masyarakat guyup rukun.
Lalu digelar pula tradisi besik yang dimaknai menengok makam ahli waris yang sudah meninggal. Dalam tradisi besik inilah disematkan doa-doa untuk ziarah kubur.

Estafet penyebaran agama Islam Mbah Bonggol Jati dilanjutkan keponakannya, yakni Kiai Kagiring. Kemudian terus berlanjut hingga anak cucunya, yakni Kiai Reksoyudo I. Dari sosok Kiai Reksoyudo I ini, lahirlah tradisi sadranan.
”Mereka merupakan utusan dari Demak. Dan tradisi sadranan terus dilakukan sejak abad 16 sampai sekarang,” imbuh buyut dari Kyai Reksoyudo I ini. (*/adi)