25.9 C
Surakarta
Tuesday, 30 May 2023

Menengok Jejak Dakwah Panembahan Agung di Klaten, Sebarkan Islam lewat Sedekahan

Masjid kuno di Dusun Kauman, Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes, Klaten pernah jadi pusat penyebaran agama Islam di daerah setempat. Sekaligus menjadi jejak dakwah dari Pangeran Maulana Mas atau yang dikenal dengan nama Panembahan Agung.

ANGGA PURENDA, Klaten

MASJID Agung Kajoran didirikan oleh Panembahan Agung sekira abad 17 Masehi. Dia berasal dari Kerajaan Pajang yang diutus melakukan perjalanan ke barat hingga akhirnya membentuk kelompok muslim di Kajoran. Secara administrasi, Kajoran masuk Kecamatan Klaten Selatan yang berbatasan langsung dengan Desa Jimbung, Kalikotes.

Panembahan Agung awalnya menimba ilmu agama Islam kepada Sayid Habib. Setelah berguru, kemudian mendirikan masjid dan meneruskan dakwah kepada masyarakat sekitar, di mana saat itu masih banyak yang menganut agama Hindu dan Buddha.

Ketua Takmir Masjid Agung Kajoran Joko Ismanto menjelaskan, berdasarkan cerita turun temurun para leluhur, masjid yang saat ini berdiri merupakan pusat dakwah. Sedangkan daerah sekitarnya berkembang semacam pondok.

”Lokasi yang menjadi tempat berdirinya masjid merupakan tanah perdikan dari Kerajaan Pajang. Dahulunya sekitar masjid merupakan hutan. Lalu berkembang menjadi pondok-pondok yang ingin belajar Islam,” kata Joko kepada Jawa Pos Radar Solo, Rabu (22/3).

Joko mengungkapkan, penyebaran agama Islam di Kajoran dan sekitarnya melalui sarana sedekahan atau kondangan. Dilaksanakan dua kali hingga tiga kali dalam setiap bulannya. Adapun bentuk sedekahan bermacam-macam. Salah satunya tradisi sadranan dengan mengumpulkan berbagai sajian makanan dari para dermawan. Dilaksanakan di serambi masjid yang mampu mengundang orang untuk datang.

”Bukannya meremehkan, tapi waktu itu makanan memang masih sulit, yang punya (mampu) pun sedikit. Dari orang-orang dermawan cara mengumpulkan seperti itu, dulunya. Penyebarannya (agama Islam) memang secara halus, pelan-pelan,” ucapnya.

Adapun ajaran dari Panembahan Agung yang masih dilestarikan oleh warga Kauman sampai saat ini adalah melaksanakan khataman Alquran. Khususnya di bulan suci Ramadan pada hari ke-10 hingga hari ke-20. Diikuti oleh seluruh elemen hingga kelompok tadarus Alquran.

Masjid Agung Kauman tampak dari depan yang terdapat parit. (ANGGA PURENDA/RADAR SOLO)

Dusun Kauman yang menjadi tempat berdirinya Masjid Agung Kajoran itu terdiri dari satu RW dan dua RT dengan jumlah 150 kepala keluarga (KK). Setiap kali salat Tarawih tiba, setidaknya terdapat 200 jamaah memenuhi setiap sudut ruang masjid. Padahal bangunan induk dari masjid tersebut berukuran 20,5 meter x 20,5 meter. Hal itu yang membuat jamaah meluber hingga ke bagian serambi masjid.

”Masjid Agung masih terpelihara keasliannya. Dari bentuk masjid, mimbar, bedug, usuk hingga 16 tiang dari kayu jati, masih asli semua. Termasuk bangunan pawestren (tempat salat perempuan),” tambah Joko.

Sampai saat ini masjid tersebut masih digunakan oleh masyarakat untuk ibadah, salat Jumat, pengajian dan taman pendidikan Alquran (TPA). Sedangkan untuk pemeliharaannya dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) ke Dinas Kebudayaan Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Dibudporapar). (*/adi/ria)






Reporter: Angga Purenda

Masjid kuno di Dusun Kauman, Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes, Klaten pernah jadi pusat penyebaran agama Islam di daerah setempat. Sekaligus menjadi jejak dakwah dari Pangeran Maulana Mas atau yang dikenal dengan nama Panembahan Agung.

ANGGA PURENDA, Klaten

MASJID Agung Kajoran didirikan oleh Panembahan Agung sekira abad 17 Masehi. Dia berasal dari Kerajaan Pajang yang diutus melakukan perjalanan ke barat hingga akhirnya membentuk kelompok muslim di Kajoran. Secara administrasi, Kajoran masuk Kecamatan Klaten Selatan yang berbatasan langsung dengan Desa Jimbung, Kalikotes.

Panembahan Agung awalnya menimba ilmu agama Islam kepada Sayid Habib. Setelah berguru, kemudian mendirikan masjid dan meneruskan dakwah kepada masyarakat sekitar, di mana saat itu masih banyak yang menganut agama Hindu dan Buddha.

Ketua Takmir Masjid Agung Kajoran Joko Ismanto menjelaskan, berdasarkan cerita turun temurun para leluhur, masjid yang saat ini berdiri merupakan pusat dakwah. Sedangkan daerah sekitarnya berkembang semacam pondok.

”Lokasi yang menjadi tempat berdirinya masjid merupakan tanah perdikan dari Kerajaan Pajang. Dahulunya sekitar masjid merupakan hutan. Lalu berkembang menjadi pondok-pondok yang ingin belajar Islam,” kata Joko kepada Jawa Pos Radar Solo, Rabu (22/3).

Joko mengungkapkan, penyebaran agama Islam di Kajoran dan sekitarnya melalui sarana sedekahan atau kondangan. Dilaksanakan dua kali hingga tiga kali dalam setiap bulannya. Adapun bentuk sedekahan bermacam-macam. Salah satunya tradisi sadranan dengan mengumpulkan berbagai sajian makanan dari para dermawan. Dilaksanakan di serambi masjid yang mampu mengundang orang untuk datang.

”Bukannya meremehkan, tapi waktu itu makanan memang masih sulit, yang punya (mampu) pun sedikit. Dari orang-orang dermawan cara mengumpulkan seperti itu, dulunya. Penyebarannya (agama Islam) memang secara halus, pelan-pelan,” ucapnya.

Adapun ajaran dari Panembahan Agung yang masih dilestarikan oleh warga Kauman sampai saat ini adalah melaksanakan khataman Alquran. Khususnya di bulan suci Ramadan pada hari ke-10 hingga hari ke-20. Diikuti oleh seluruh elemen hingga kelompok tadarus Alquran.

Masjid Agung Kauman tampak dari depan yang terdapat parit. (ANGGA PURENDA/RADAR SOLO)

Dusun Kauman yang menjadi tempat berdirinya Masjid Agung Kajoran itu terdiri dari satu RW dan dua RT dengan jumlah 150 kepala keluarga (KK). Setiap kali salat Tarawih tiba, setidaknya terdapat 200 jamaah memenuhi setiap sudut ruang masjid. Padahal bangunan induk dari masjid tersebut berukuran 20,5 meter x 20,5 meter. Hal itu yang membuat jamaah meluber hingga ke bagian serambi masjid.

”Masjid Agung masih terpelihara keasliannya. Dari bentuk masjid, mimbar, bedug, usuk hingga 16 tiang dari kayu jati, masih asli semua. Termasuk bangunan pawestren (tempat salat perempuan),” tambah Joko.

Sampai saat ini masjid tersebut masih digunakan oleh masyarakat untuk ibadah, salat Jumat, pengajian dan taman pendidikan Alquran (TPA). Sedangkan untuk pemeliharaannya dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) ke Dinas Kebudayaan Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Dibudporapar). (*/adi/ria)






Reporter: Angga Purenda

Populer

Berita Terbaru

spot_img