RADARSOLO.ID-Pemerintah Kabupaten Sragen bersama DPRD Sragen saat ini tengah proses membahas raperda tentang pajak dan retribusi. Produk hukum yang dikeluarkan diharapkan tidak sekadar mengejar pendapatan asli daerah (PAD) saja, namun juga harus mempertimbangkan beban masyarakat berpenghasilan rendah.
Wakil Ketua DPRD Sragen Aris Surawan menyampaikan bahwa ada tiga macam raperda soal ini. Pertama bersifat reguler, seperti raperda APBD. Kedua raperda yang bersifat delegatif, yakni menyesuaikan undang-undang atau aturan dari pemerintah pusat yang baru dan bisa berubah. Ketiga raperda yang bersifat urgen dan mendesak.
”Lantas pajak dan retribusi termasuk raperda yang bersifat delegatif. Yakni tindak lanjut UU No 28 Tahun 2009 diganti dengan UU No 1 Tahun 2022. Sehingga pemerintah daerah harus menyesuaikan dengan aturan pusat yang terbaru,” terangnya.
Sebelum memutuskan besaran kenaikan pajak dan retribusi, pihaknya perlu memastikan apakah sudah dilakukan analisa potensi pajak dan retribusi daerah secara profesional dan komprehensif belum. Karena di satu sisi kenaikan besaran pajak dan retribusi daerah dibutuhkan untuk menopang peningkatan PAD.
Sisi lain kondisi ekonomi saat ini belum membaik, sehingga kenaikan besaran pajak dan retribusi daerah akan berpotensi membebani masyarakat miskin dan yang berpenghasilan rendah.
”Solusi bijak apa saja yang sudah disiapkan oleh pemerintah kabupaten?” ujarnya.
Dia menyampaikan lintas fraksi pada umumnya memberi pandangan umum yang hampir sama. Seperti soal kemiskinan dan tingkat pengangguran terbuka.
”Hal ini berkaitan dengan kesejahteraan rakyat Sragen,” tandas Aris. (din/nik)
Reporter: Ahmad Khairudin
RADARSOLO.ID-Pemerintah Kabupaten Sragen bersama DPRD Sragen saat ini tengah proses membahas raperda tentang pajak dan retribusi. Produk hukum yang dikeluarkan diharapkan tidak sekadar mengejar pendapatan asli daerah (PAD) saja, namun juga harus mempertimbangkan beban masyarakat berpenghasilan rendah.
Wakil Ketua DPRD Sragen Aris Surawan menyampaikan bahwa ada tiga macam raperda soal ini. Pertama bersifat reguler, seperti raperda APBD. Kedua raperda yang bersifat delegatif, yakni menyesuaikan undang-undang atau aturan dari pemerintah pusat yang baru dan bisa berubah. Ketiga raperda yang bersifat urgen dan mendesak.
”Lantas pajak dan retribusi termasuk raperda yang bersifat delegatif. Yakni tindak lanjut UU No 28 Tahun 2009 diganti dengan UU No 1 Tahun 2022. Sehingga pemerintah daerah harus menyesuaikan dengan aturan pusat yang terbaru,” terangnya.
Sebelum memutuskan besaran kenaikan pajak dan retribusi, pihaknya perlu memastikan apakah sudah dilakukan analisa potensi pajak dan retribusi daerah secara profesional dan komprehensif belum. Karena di satu sisi kenaikan besaran pajak dan retribusi daerah dibutuhkan untuk menopang peningkatan PAD.
Sisi lain kondisi ekonomi saat ini belum membaik, sehingga kenaikan besaran pajak dan retribusi daerah akan berpotensi membebani masyarakat miskin dan yang berpenghasilan rendah.
”Solusi bijak apa saja yang sudah disiapkan oleh pemerintah kabupaten?” ujarnya.
Dia menyampaikan lintas fraksi pada umumnya memberi pandangan umum yang hampir sama. Seperti soal kemiskinan dan tingkat pengangguran terbuka.
”Hal ini berkaitan dengan kesejahteraan rakyat Sragen,” tandas Aris. (din/nik)
Reporter: Ahmad Khairudin