RADARSOLO.ID – Pimpinan Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Sragen menyampaikan permohonan maaf dan belasungkawa atas meninggalnya salah satu santri mereka Daffa Washif Waluyo, 14, karena diduga dihajar seniornya. Pihak ponpes berkomitmen menyelesaikan kasus ini hingga tuntas. Selain proses hukum, ponpes juga telah memutuskan untuk mengembalikan terduga pelaku kekerasan berinisial MHN, 16, kepada orang tuanya.
“Peristiwa ini menjadi catatan dan pelajaran bagi seluruh pengasuh dan pengajar Ponpes Ta’mirul Islam Masaran, Sragen,” ujar Ahmad Halim, pengasuh Ponpes Ta’mirul Islam Sragen melalui keterangan tertulis, Rabu (23/11).
Ahmad mengatakan, ponpes berkomitmen peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh senior semacam ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.
”Seluruh santri adalah anak-anak kami dan titipan dari orang tua untuk kami asuh dan didik. Wafatnya almarhum merupakan duka cita yang mendalam bagi kami,” terang dia.
Ahmad menekankan, tidak dibenarkan melakukan kekerasan di dalam ponpes dalam bentuk apapun. Baik untuk menegakkan disiplin maupun memberi hukuman. Kekerasan yang terjadi merupakan bentuk pengkhianatan ajaran ponpes. Dia pun menegaskan jika pelaku hanya satu orang.
”Kami berkomitmen menyelesaikan kasus ini sampai tuntas dengan mengikuti setiap proses hukum bersama keluarga almarhum dan aparat kepolisian. Sebagai wujud komitmen kami, pelaku kekerasan akan kami keluarkan dari ponpes dan kami kembalikan ke orang tua,” terang dia.
Kasi Humas Polres Sragen Iptu Ari Pujiantoro mewakili Kapolres Sragen AKBP Piter Yanottama mengatakan, karena tersangka masih di bawah umur, diberlakukan wajib lapor dan tidak ditahan. Namun, proses hukum tetap berjalan dengan diterapkan pasal 80 ayat 3 UU Perlindungan Anak. Ancamannya maksimal 10 tahun.
”Sudah ada 11 saksi yang kami diperiksa. Termasuk ustad yang ada di sekitar kejadian dan orang tua korban,” ujarnya.
Polres Sragen masih mendalami, apakah tindakan yang mengakibatkan nyawa melayang itu merupakan spontanitas atau sudah menjadi tradisi. Dari keterangan tersangka, yang bersangkutan tidak melaksanakan piket kamar. Sehingga senior melakukan tindakan kekerasan itu.
“Mungkin yang dilakukan kurang terkontrol dan kurang pengawasan. Mereka masih muda hingga terjadi tindakan demikian” tandasnya.
Sementara anggota Panitia Khusus (Pansus) Penyusunan Perda Madrasah dan Pesantren DPRD Sragen Mualim Sugiyono mengatakan, setiap ponpes pada umumnya ada hukuman untuk mendisiplinkan santri. Bisa berupa denda uang, cukur gundul untuk santri putra atau membaca hafalan surat-surat dalam Alquran sambil berdiri.
”Tidak ada hukuman secara fisik bagi para santri. Kecuali jika ada yang mencuri. Tindakan fisik dilakukan spontanitas. Tapi keamanan pondok pasti melarang santri main hakim sendiri. Yang jelas, tata tertib tidak ada hukuman fisik,” ujar salah satu pengasuh ponpes di Sragen ini.
Kejadian ini, lanjut dia, juga menjadi masukan juga pansus dalam menyusun perda. Terutama terkait tata tertib secara umum akan dimasukkan dalam pasal-pasal di dalam Raperda Ponpes dan Madrasah. Diharapkan tidak ada sistem dalam ponpes yang menerapkan hukuman kekerasan fisik.
Mualim menegaskan, dalam setiap kamar, umumnya dibentuk kepengurusan organisasi. Mulai dari ketua, sekretaris, bendahara, dan keamanan. Biasanya ada piket sudah dibentuk.
”Setiap ponpes, orang tua pasti diminta menyetujui surat pernyataan yang terkait aturan pesantren. Surat pernyataan seperti itu juga ada di pondok modern. Jadi saya kaget ada hukuman pada santri kok ditendang. Kalau dihukum bersih-bersih masih wajar,” ujar dia.
Seperti diberitakan, Daffa Washif Waluyo meninggal karena diduga dihajar santri seniornya di ponpes pada Sabtu (19/11) malam. Diduga karena melanggar aturan terkait kebersihan. Korban sempat dilarikan ke klinik sebelum dinyatakan meninggal sekitar pukul 02.00 dan dibawa pulang kembali ke ponpes. (din/bun/ria)