RADARSOLO.ID – Selama dua tahun terakhir pandemi Covid-19, membuat dunia lebih fokus pada bahaya dan ancaman penularan virus Corona tersebut. Padahal ada penyakit pernapasan lain yang selama ini juga mengancam yakni Tuberkulosis atau TBC. Angka kematiannya pun cukup tinggi.
Ahli dari Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Jakarta, dr Sri Dhuny Atas Asri, SpP, FISR, MARS mengatakan, saat ini, Indonesia masih menempati posisi ketiga kasus TBC terbesar di dunia. Setiap jam, 11 orang di Indonesia meninggal dunia karena TBC.
“Sayangnya, kepedulian masyarakat terhadap penyakit ini tidak sebesar penyakit pernapasan lain seperti Covid-19,” ujar Sri Dhuny.
TBC merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang paru-paru, akibat bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Penderitanya berisiko kematian. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat 9.900.000 orang di dunia menderita TBC pada 2021.
Ahli Gizi dr Ida Gunawan, MS, SpGK mengatakan, penyakit ini bisa disembuhkan dengan perawatan dan pemenuhan nutrisi yang tepat. Menurutnya, TBC itu membutuhkan bukan sekadar terapi obat-obatan, tapi juga modifikasi gaya hidup.
“Perbaikan pola sanitasi, pola istirahat dan aktivitas, serta pola makan adalah bagian suportif yang tidak bisa dilepaskan. Malnutrisi sendiri menjadi momok yang bisa memperburuk kondisi pasien TBC dan bisa meningkatkan angka kematian,” jelas Ida.
Sekitar seperempat kasus TBC baru global berkaitan dengan kekurangan gizi. Di sisi lain, jumlah kejadian TBC dalam satu tahun adalah 3.219 orang (0,5 persen dari 624.562 responden) dan sebanyak 28,7 persen dari 3.219 penderita TBC di Indonesia berstatus gizi rendah (malnutrisi).
“Diet yang berfokus pada perbaikan jenis dan jumlah protein, membantu meningkatkan masa otot dan imunitas pasien TBC. Tak kalah penting pula, peran mikronutrisi seperti vitamin C, D, E, dan mineral, seperti selenium dan zinc juga berpengaruh pada fungsi paru dan membantu proses pemulihan,” ungkapnya.
Product Management Kalbe, Apt Kenny Kowira, SFarm mengatakan, kebutuhan nutrisi pasien TBC dapat dipenuhi lewat suplemen. Penderita TBC memerlukan pola makan yang tepat, bertahap, dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien.
Sayangnya, pasien TBC sering kali mengalami mual dan tidak memiliki nafsu makan, sehingga nutrisi harian yang tepat sulit didapatkan.
“Suplementasi menjadi salah satu jalan atau kunci penting bagi pasien TB untuk meningkatkan nutrisi yang diperlukan. Harapannya, dengan pemenuhan nutrisi yang cukup bagi pasien TB sehingga dapat mengakhiri peningkatan kasus TB di Indonesia dan bisa menyelamatkan lagi pasien TB,“ tutur Kenny.
Dalam keterangan resmi Kementerian Kesehatan baru-baru ini, tidak semua orang yang terinfeksi kuman TBC akan mengalami gejala sakit TBC. Kondisi ini disebut dengan infeksi laten tuberkulosis (ILTB).
Tuberkulosis adalah suatu keadaaan di mana sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi tidak mampu mengeliminasi bakteri Mycobacterium Tuberculosis secara sempurna, tetapi mampu mengendalikan bakteri TBC sehingga tidak timbul gejala sakit TBC.
Mereka dengan kondisi ini perlu mendapatkan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) untuk mencegah sakit TBC. Terutama bagi kelompok berisiko seperti kontak serumah dan orang dengan HIV (ODHIV).
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2021 disebutkan bahwa capaian pemberian TPT pada ODHIV hanya sebesar 5 persen. Sedangkan capaian pada kontak serumah sebesar 0,2 persen.
Capaian ini masih jauh dari target cakupan TPT nasional. Yaitu sebesar 40 persen pada ODHIV dan 29 persen pada kontak serumah. Salah satu tantangan dalam pemberian TPT yaitu masih ada keraguan petugas kesehatan termasuk dokter dalam memberikan TPT bagi populasi berisiko. (JPG/ria)