Oleh: H. Priyono
PRESIDEN Joko Widodo mendadak menggelar jumpa pers Senin (2/3). Dalam jumpa pers tersebut Jokowi menyebut seorang WN Jepang yang positif korona terjadi kontak dengan seorang perempuan 31 tahun dan ibunya 64 tahun. Setelah Kementerian Kesehatan melakukan uji laboratorium terhadap spesimen ibu dan anak tersebut, hasilnya keduanya dinyatakan positif korona.
Reaksi publik pasca pengumuman Jokowi tersebut sangat beragam. Ada yang biasa saja, ada yang terkejut, ada pula yang panik. Salah satu bentuk kepanikan terlihat pada terjadinya panic buying terhadap masker. Alhasil pembelian masker menjadi meningkat drastis. Masker menjadi langka dan berujung pada harga masker yang mahal. Pedagang menjual masker dengan harga tinggi seiring penemuan kasus virus korona pertama di Indonesia itu.
Mahalnya harga masker diduga bukan hanya karena banyak yang membeli, tetapi juga karena ada pedagang “nakal” yang sengaja menimbun masker. Barang yang sebelumnya mudah dibeli di apotek atau minimarket itupun menjadi susah dicari. Kalaupun ada, harganya telah berubah berlipat-lipat dari harga normal.
Polisi pun melakukan operasi penyelidikan di berbagai tempat. Salah satu penimbun masker tertangkap di Semarang. Ada tiga orang diamankan. Ketiganya menjual masker dengan harga lebih mahal hingga enam kali lipat dari harga normal. Mereka menjual dengan harga Rp 270 ribu-Rp 275 ribu. Padahal harga normalnya hanya Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu.
Praktik menimbun, kemudian menjual dengan harga berlipat-lipat seperti itu sangat diharamkan dalam Islam. Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR. Muslim, no. 1605).
Hadis di atas menjadi dalil yang menunjukkan haramnya perilaku menimbun barang yang dibutuhkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, semua bentuk penimbunan barang itu terlarang dalam ajaran Islam, baik beras, sembako secara umum, atau pun non-sembako seperti masker yang saat ini langka dan mahal.
Berdagang itu bisa menjadi jalan ibadah jika dilakukan dengan akhlak mulia sebagaimana dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi SAW. Rasulullah mengajarkan bahwa berdagang tidak boleh hanya mengejar keuntungan sebanyak- banyaknya sebagaimana yang diajarkan dalam ekonomi kapitalis. (Masih ingat prinsip ekonomi kapitalis yang sering diajarkan di sekolah: modal sesedikit mungkin, untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin).
Berdagang harus didasari kesadaran memberi kemudahan dan kemaslahatan bagi orang lain. Oleh karena itu, Rasulullah dalam hadis di atas melarang tindakan ihtikar. Ihtikar adalah menumpuk dan menyimpan atau menimbun barang dalam masa tertentu dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan mendapata keuntungan yang berlipat-lipat. Jadi penimbunan termasuk aktivitas dagang yang mengandung kezhaliman kepada sesama. Hal ini menunjukkan pentingnya kesadaran tentang signifikansi sosial dalam berdagang.
Dengan demikian, penimbun masker tersebut memiliki akhlak yang buruk dalam berdagang karena menari di atas penderitaan orang lain. Dia memanfaatkan situasi kepanikan massa di tengah keprihatinan dan kekhawatiran akan merebaknya wabah virus korona. Dalam sebuah ceramahnya, seorang ustad terkenal dan menjadi idola pada zamannya memberi tausyiah: Kita tak perlu panik menghadapi virus korona karena itu makhluk ciptakan Allah dan kepada siapa yang akan terserang, itu juga kehendak Allah.
Mari kita tetap menjaga kebersihan lewat wudu dan kebersihan yang lain dan untuk sementara tidak bepergian ke luar negeri untuk menghindari virus yang menakutkan itu. Melihat situasi yang panik—karena ada warga yang terjangkit dan di sisi lain ada sekelompok orang yang memanfaatkan keadaan dengan mengeruk keuntungan—sudah seharusnya dalam segala sisi kehidupan, termasuk jual-beli, kita sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW mencontoh perilaku dan tuntunannya, agar akhlak kita menjadi karimah (baik). Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam surah Ali Imron ayat 134 : “Allah mencintai orang orang yang berbuat kebaikan”. (*)