Warjiyem, 50, ibunda Danik Fajarwati, 30, tak kuasa membendung kesedihan karena kesulitan membantu putri sulung dan dua cucunya pulang ke tanah air.
SILVESTER KURNIAWAN-RAGIL LISTIYO, Solo, Radar Solo
BULAN lalu, Danik sempat menjalin komunikasi dengan ibunya. Saat itu, dia mengabarkan butuh bantuan dana untuk kebutuhan makan sehari-hari. Lantaran tak ada uang tabungan, Warjiyem cuma bisa menangis.
“Yang paling bikin saya sedih itu saat anak saya bilang, kalau tidak ada kiriman uang, mungkin nanti saat pulang dia (Danik) tinggal nama. Rasanya langsung lemas,” ujarnya.
Wajar saja, hubungan Warjiyem dan Danik memang sangat dekat. Meski sudah dewasa, Warjiyem rutin antar-jemput Danik ke berbagai tempat. Baik saat masih kuliah, saat menjadi guru taman pendidikan Alquran, mau berbagai kegiatan lainnya. “Anak saya itu apa-apa sama saya. Saya cuma bisa menangis karena tak bisa bantu apa-apa,” jelas dia.
Sekitar tiga hari lalu, Danik kembali mengirim pesan suara. Isinya butuh uang untuk memenuhi kebutuhannya di kamp pengungsian Syria. Kali ini, Warjiyem dan suaminya Paidi lebih siap. Mereka sudah menyisikan penghasilan dari jualan susu segar dan pijat urut untuk dikirim ke Syria.
“Rencananya Senin depan (10/2) kami kirim 200 dolar. Memang tidak banyak, tapi semoga bisa membantu. Saya harap pemerintah bisa segera pulangkan anak saya,” harap Warjiyem.
Sang suami, Paidin-lah yang paling tegar. Meski istrinya hampir menangis setiap hari, dia selalu memberi semangat. Sambil terus berharap ada upaya pemerintah membantu kepulangan Danik. “Kami sudah pernah tanyakan ke Kantor Imigrasi untuk menanyakan kejelasan nasib anak saya. Ternyata tidak terdaftar di sana. Entah lewat jalur mana dia (Danik) berangkat ke Syria,” terang Paidin.
Apakah akan menempuh upaya hukum untuk memulangkan Danik? Itu sama sekali tak terlintas di benak pasangan lanjut usia ini. Mereka tak paham birokrasi. Belum lagi biaya yang dibutuhkan nantinya.
“Kami merasakan kepedihan yang dirasakan anak saya. Minta bantuan makan dari sini kan berarti kehidupan di sana sangat sulit. Saya minta dengan hormat kepada pak presiden agar lebih peduli. Tidak pukul rata dengan status (yang ke Syria) bersalah semua,” pungkasnya.
Sementara itu, wacana pemulangan warga negara Indonesia (WNI) di Syria mendapat berbagai macam tanggapan. Salah satunya terkait identitas internasional atau paspor yang telah terbakar. Namun, mereka bisa kembali ke Indonesia dengan menghubungi Kedutaan Besar terdekat.
Kasubsi Intelejen Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surakarta Lucky Budi Dharmawan mengatakan, meski kantor Imigrasi menjadi rujukan pembuatan paspor, namun, mereka tidak memiliki data di mana saja WNI bepergian.
“Kami hanya bertanya sudah ada paspor sebelumnya atau mau bepergian ke mana. Sebab, mayoritas pembuat paspor yang pergi ke Timur Tengah mengaku mau haji, umrah atau liburan. Setelah itu mereka menyeberang ke mana, kami tidak tahu. Entah nanti gabung sama kelompok apa, kami tidak tahu,” ujar dia.
Selama ini, jarang pembuat paspor yang terang-terangan mengatakan pergi ke Syria. Mayoritas ke menyebut ke wilayah Timur Tengah lainnya dan kemudian menyeberang lewat jalur darat, sehingga pihak imigrasi juga tidak memiliki catatan kepergian setelah sampai di tempat tujuan yang dikatakan.
“Kalau mereka keluar dari wilayah haji maupun umrah, sudah di luar ekspektasi. Karenanya kami juga tidak tahu apakah mereka menetap di sana atau tergabung dalam suatu kelompok,” imbuhnya. (*/wa)