RADARSOLO.ID – Aliran Sungai Bengawan Solo menjadi urat nadi kehidupan masyarakat sejak dahulu kala.Tak heran, bekas makam, punden, dan peninggalan-peninggalan leluhur banyak ditemukan di bantaran sungai terpanjang di Pulau Jawa ini. Salah satunya adalah punden Nyai Pocung di Dusun Tempuran RT 02 RW 06 Lingkungan Tempuran, Kelurahan Bulakan, Kecamatan Sukoharjo Kota.
Punden ini layaknya sebuah hutan kota yang kecil. Luasnya sekitar 2.500 meter persegi. Lokasi punden dipagar keliling. Didalamnya dipenuhi pohon-pohon tua berukuran raksasa layaknya hutan hujan tropis.
“Pundennya ada di tengah-tengah hutan, banyak pohon besar. Salah satunya pohon randu alas,” kata Camat Sukoharjo Kota Havid Danang Purnomo Widodo.
Ketika Jawa Pos Radar Solo masuk kawasan punden, hawa dingin sangat terasa, karena padatnya vegetasi tanaman dan lebatnya pepohonan. Padahal, matahari sedang bersinar dengan terik.
“Pohon-pohon ini sudah berusia ratusan tahun. Di sini biasa digunakan untuk tirakat,” jelas Havid.
Di dalam punden, daun-daun kering yang berjatuhan sudah sangat tebal. Sangat jarang disapu. Ternyata, itu ada alasannya. Membersihkan lokasi punden adalah sebuah pantangan.
“Sampai sekarang tidak ada yang berani membersihkan, kalau berani membersihkan, dipercaya akan kesurupan,” ujar Havid.
Di tengah punden terdapat pagar mengelilingi pohon jambu yang sudah tumbang. Masyarakat menamakan tempat itu jambu doyong. Di bawah pohon jambu doyong, tampak terdapat kembang-kembang setaman dan bekas-bekas pembakaran kemenyan.
“Hati-hati, di tempat ini banyak ularnya. Ada yang ular beneran, ada ular raksasa penunggu sini yang sering menampakan diri. Ada pula gundukan tanah yang dipercaya sebagai kerajaan gaib,” imbuhnya camat Sukoharjo.
Eyang Marso Sukarto, 81, juru kunci punden Nyai Pocung membenarkan bahwa lokasi setempat nyaris tidak pernah dibersihkan sejak dirinya kecil.
“Sebelum-sebelumnya juga tidak boleh dibersihkan,” ungkapnya.
Tidak sedikit yang mempercayai bahwa jika ada yang nekat membersihkan, bakal ketiban sial. Bahkan, saat dilakukan pembangunan pagar luar dan dalam punden, semua pekerja diwanti-wanti tidak membersihkan maupun memotong dahan dan ranting di dalam area punden.
“Karena disinikan alas (hutan), makanya tidak boleh dibersihkan,” katanya.
Lalu siapa sebenarnya Nyai Pocung itu? Marso mengatakan, dia adalah seorang putri dari Kerajaan Pajajaran. Saat sudah dewasa, ada pria yang ingin mempersuntingnya. Karena belum siap, akhirnya Nyai Pocung pergi mengembara.
“Akhirnya sampai di sini. Di sebuah hutan di tepi Sungai Bengawan Solo. Sebelumnya Nyai Pocung naik rakit (getek) yang tersangkut di pohon pohcung,” ucap dia.
Bertahun-tahun menetap di hutan ini, akhirnya ada utusan dari Pajajaran yang berhasil menemukannya. Nyai Pucung dibujuk untuk kembali ke Pajajaran, namun justru utusan itu yang disuruhnya kembali. Tapi akhirnya utusan tersebut ikut menetap di hutan setempat.
Hingga saat ini, punden Nyai Pocung masih sering didatangi peziarah. Biasanya ramai pada malam purnama saat Sura. (kwl/wa/dam)