RADARSOLO.ID – Pengalaman memiliki anggota keluarga dengan kekurangan fisik membuat Amarta Dian Bayu Putri memiliki kepekaan lebih terhadap penyandang disabilitas. Hal inilah yang mendorong dia untuk menjadi seorang juru bahasa isyarat (JBI).
SILVESTER KURNIAWAN, Solo, Radar Solo
Marta, begitulah sapaan akrab perempuan yang piawai membawakan bahasa isyarat dalam berbagai kegiatan bersama Tim Advokasi Difabel Kota Surakarta itu. Ibu muda kelahiran Surakarta, 16 Maret 1993 ini cukup piawai dalam memainkan perannya saat menerjemahkan penjelasan pemandu wisata saat mereka berkunjung ke Museum Keraton Kasunanan Surakarta, Senin lalu (13/3/2023).
Kesigapannya dalam mengolah informasi dari pemandu wisata untuk disampaikan ke penyandang disabilitas bisu/tuli ini perlu diapresiasi. Mengingat museum merupakan pusat ilmu dan informasi baru yang garis besarnya tidak dikuasai sebelumnya.
“Guide ini bisa sedikit lebih pelan dalam menjelaskan. Tujuan kunjungan seperti ini kan memang agar (orang berkebutuhan khusus) paham soal museum yang mereka kunjungi,” terang dia.
Meski terbilang cukup fasih dalam menerjemahkan informasi ke para penyandang bisu/tuli, Marta mengaku belum cukup mahir dalam menerjemahkan berbagai hal. Khususnya untuk hal-hal baru yang membutuhkan waktu untuk dia cerna sebelum diterjemahkan melalui bahasa isyarat. Sebab itu, dia tidak hanya sekadar jadi penerjemah melainkan juga belajar dengan para penyandang tuli dan tunawicara agar lebih fasih dalam menyampaikan informasi yang dibutuhkan.
“Memang belajar khusus agar bisa membantu teman-teman tuli. Dua tahun saya belajar di pusat bahasa isyarat di Solo,” kata dia.
Awal mempelajari bahasa isyarat Marta memulai mepraktikkan gerakan-gerakan sederhana mulai dari alfabet. Setelah merasa cukup, dia mulai memeragakan gerakan-gerakan untuk menyebutkan nama benda. Seperti nama buah-buahan, nama barang, nama hewan, baru ke kalimat-kalimat lebih rumit.
Kesulitan yang dia temui pada sejumlah kosa kata baru yang cukup asing digunakan. Khususnya pada acara-acara resmi dan berbau akademis seperti seminar dan sejenisnya.
“Tantangan di kosa kata baru. Jadi harus sering-sering ngobrol dengan kawan-kawan ini (difabel) biar makin terbiasa untuk menerjemahkan. Ada gerakan tangan dengan dibantu gerakan bibir,” jelas Marta.
Makin terbiasa berinteraksi dengan penyandang bisu/tuli, kemampuan penerjemahan itu akan makin baik. Karena itulah ibu dua anak ini cukup rutin berinteraksi dengan mereka. Bahkan juga berkawan baik dengan penyandang disabilitas t.
Lulusan Prodi Bimbingan Konseling FKIP UNS ini mengaku senang bisa menyandang gelar juru bahasa isyarat untuk membantu penyandang disabilitas. Khususnya bisu dan tuli agar bisa mendapat informasi yang dibutuhkan seperti yang dilakukan hingga saat ini.
“Awalnya pengin tambah ilmu saja. Biar bisa ngobrol dengan kawan-kawan tuli dan bisu untuk memperluas pertemanan. Agar komunikasi antara mereka (penyandang tuli dan bisu dengan orang normal bisa tersampaikan dengan baik. Paling tidak bisa menjadi akses untuk mereka agar setara dengan orang lain,” ujar warga Sukoharjo itu.
Keinginan untuk menjadi jembatan komunikasi antara penyandang bisu dan tulis dengan orang umum ini sudah sejak lama. Dia memiliki latar belakang keluarga yang juga memiliki kekurangan fisik karena virus polio. Karena itu dia memiliki rasa yang kuat dengan para penyandang disabilitas di sekitarnya. Perasaan itu akhirnya menjadi tindakan konkret. Ini dibuktikan dengan kontribusi nyata melalui aktivitasnya sebagai jur bahasa isyarat tersebut. Namun, dia tidak menganggap hal itu sebagai profesi untuk mencari pendapatan.
“Dulu respons masyarakat kepada penyandang disabilitas tidak begitu terbuka. Karena itu saya tertarik untuk bisa membantu agar dunia luar bisa menerima mereka dengan baik, dan kawan difabel bisa terbuka dengan dunia luar,” ujar Marta.
Kemampuan Marta sebagai juru bahasa isyarat diakui oleh Tim Advokasi Difabel Kota Surakarta. Di mana anggotanya datang dari beragam organisasi penyandang disabilitas di Kota Solo. Menurut mereka peran seorang juru bahasa isyarat seperti Marta ini penting untuk memudahkan penyandang tuna rungu dan wicara dalam mengakses informasi.
“Sebetulnya JBI ini ada untuk akses teman tuli agar bisa mendengarkan dan menjadi akses mereka dengan orang umum. Termasuk agar bisa mendapatkan informasi. Kemampuan Marta sudah baik,” ucap Ketua Gerkatin Solo Galih. (*/bun)