RADARSOLO.COM – Ketekunan Mursidah, 67, menabung setiap hari selama 30 tahun demi bisa berangkat ke Tanah Suci akhirnya terkabul. Uang itu disisihkan dari hasil berjualan sayur keliling dan sapu lidi. Tahun ini dia bisa berangkat menunaikan ibadah haji.
ANGGA PURENDA, Klaten, Radar Solo
Sebuah rumah sederhana berdiri di Dusun Kidul Pasar, Desa Keprabon, Kecamatan Polanharjo yang padat penduduk. Rumah berdinding tembok dan berlantai plester tersebut merupakan rumah Mursidah, 67. Dia merupakan salah seorang calon jamaah haji (CJH) yang berangkat ke Tanah Suci tahun ini. Saat Jawa Pos Radar Solo mendatangi rumah itu, pintunya tampak tertutup rapat.
Ternyata Mursidah sedang menghadiri acara pengajian yang tak jauh dari Kantor Kecamatan Polanharjo dengan mengayuh sepeda kesayangannya. Beberapa saat kemudian perempuan ini pulang ke rumah. Dia mengaku sudah terbiasa mengayuh sepeda untuk berpergian meski sudah lanjut usia.
Sepeda jadulnya itu juga pernah digunakan Mursidah untuk berjualan sayur secara keliling di sekitar Kecamatan Polanharjo. Sebelum akhirnya diminta anaknya untuk berhenti berjualan usai ditabrak sepeda motor saat perjalanan ke pasar. Beberapa tahun tak menjajakan sayuran dia kini fokus berjualan sapu lidi keliling di kampungnya.
Mursidah menyisihkan uang dari berjualan sayur hingga sapu lidi selama 30 tahun sebelum akhirnya memantapkan diri untuk mendaftarkan haji pada 2012. Uang yang disetorkan untuk pendaftarannya waktu itu sebagian besar dari hasil menabung dan dibantu oleh anak-anaknya.
Sedangkan untuk pelunasan seluruhnya berasal dari hasil dia menabung selama bertahun-tahun itu. Awalnya dia akan berangkat pada 2021 lalu tetapi tertunda. Hingga akhirnya baru mendapatkan kesempatan untuk menginjakkan kaki ke Makkah dan Madinah pada tahun ini.
“Niat berangkat haji sudah lama, puluhan tahun. Saya lakukan dengan menabung setiap hari. Saya sisihkan (dari hasil penjualan sayur) setidaknya Rp 10 ribu per hari,” ucap Mursidah yang tinggal seorang diri karena suaminya meninggal dunia pada 1999.
Mursidah memulai aktivitas berjualan sayur keliling sejak pukul 05.00. Dia mengayuh sepeda ontel dengan boncengan yang dipasangi bronjong menuju pasar untuk kulakan. Dilanjutkan keliling dari kampung ke kampug untuk menawarkan sayur-mayur. Berapa pun hasil yang diperoleh dari berjualan disisihkan untuk ditabung.
Dia semakin rajin menabung selepas anak-anaknya sudah berkeluarga. Uang itu dimasukkan dalam kaleng. Ketika sudah penuh, uang dibelanjakan perhiasan yang nanti bisa dijual lagi untuk mencicil biaya haji. Kini dia bersyukur, usaha dan doanya untuk berangkat ke Tanah Suci dikabulkan.
“Saya berdoa agar Allah memberikan rezeki yang banyak. Allah meridai dan mengabulkan, memberikan kemudahan,” ujar Mursidah yang memiliki empat anak dan tujuh cucu ini.
Selain menabung, Mursidah juga terus berdoa dalam ibadah Tahajud. Termasuk melaksanakan puasa Senin dan Kamis.
Anak sulung Mursidah, Sri Murjiyati, 44, mengatakan, total biaya untuk bisa berangkat ke Tanah Suci hampir Rp 50 juta. Biaya yang harus dibayarkan ibunya itu berasal dari hasil menyisihkan keuntungan berjualan sayur tersebut.
“Ibu benar-benar tekun dalam menabung. Kalau saya sebagai anaknya rasanya tidak sanggup seperti yang dilakukan ibu,” ucap Sri Murjiyati.
Sri Murjiyati telah melarang ibunya untuk berjualan sayur keliling selama tiga tahun terakhir ini. Sebagai gantinya, Mursidah berjualan sapu lidi, garam dan tanah liat yang biasa digunakan untuk memasak daun papaya di rumahnya. Tetapi Mursidah tetap rutin bersepeda terutama untuk datang ke pengajian. (*/bun)