RADARSOLO.ID-Hari Tuberkulosis (TBC) Sedunia diperingati setiap 24 Maret. TBC sudah lama menjadi masalah kesehatan di Indonesia sejak 140 tahun lalu. TBC tidak memandang umur, kekayaan, pekerjaan, atau suku bangsa. Infeksi TBC tidak selalu menyebabkan gejala penyakit. Berada di peringkat dua dunia, penderita TBC Indonesia mayoritas laki-laki.
Ketua Tim Kerja Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Tiffany Tiara Paksi menjelaskan, TBC bukan penyakit turunan. Ada lima faktor utama penyebab TBC yakni, mereka yang kekurangan gizi, penderita HIV, diabetes, perokok aktif, dan alkohol. Masyarakat yang masuk dalam kategori tersebut lebih rawan terjangkit TBC.
“Paling tinggi kasus yang ditemukan di Indonesia adalah faktor merokok. Jadi wajar penderita TBC di Indonesia itu paling banyak menyerang masyarakat laki-laki,” ungkapnya dalam acara launching buku Tuberkulosis Sitokin dan Kemokin Biomarker Tuberkulosis Laten beberapa waktu lalu.
Indonesia menempati kedua negara dengan beban TBC terbanyak di dunia dengan estimasi 969.000 kasus dan incidence rate 354/100.000 penduduk. Saat ini WHO telah menetapkan eliminasi TBC sampai 2030, dengan menurunkan jumlah kasus 80 persen dan jumlah kematian 90 persen dibandingkan data 2015 silam.
Target program penanggulangan TB nasional adalah eliminasi TB pada tahun 2035 dan bebas TB pada tahun 2050. Dimana penderita yang terinfeksi TB Laten menjadi prioritas. Meskipun tanpa gejala ILTBC perlu diwaspadai karena bisa menjangkit siapapun.
Melalui biomarker sitokin dan kemokin penderita TB laten dapat segera diberikan pengobatan yang tepat dan menyukseskan program WHO dan nasional dalam pemberantasan tuberkulosis di Indonesia dan dunia.
“Tuberkolustis laten ini, dia tidak sakit tetapi dalam tubuhnya ada kuman yang jika dibiarkan akan menjadi TBC aktif dan ini masih banyak ditemukan di Indonesia. Biomarker sitokin dan kemokin FK UNS ini dapat membantu dunia dalam mendiagnosis TB laten,” ungkapnya.
Sementara itu Perwakilan Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia Lily Sri Wahyuni Sulistyowati menyebutkan, adapun beberapa hambatan yang saat ini dihadapi pemerintah dalam program bebas TBC. Diantaranya, terjadinya resistensi obat anti TBC dalam minum obat.
Ada juga stigma masyarakat tentang penanganan TB laten. Dimana masyarakat banyak menganggap bahwa dia tidak sakit dan tidak perlu untuk minum obat. Infeksi TBC laten ini perlu diwaspadai karena dapat bermanifes terjadi TBC aktif, sehingga menjadi sumber penularan.
“Bahkan saat ini Indonesia justru naik kelas dari peringkat tiga ke peringkat dua di dunia. Tepat di bawah India, dan di atas Tiongkok untuk kasus TBC. Maka sangat penting mencari, menemukan dan mengobati penderita TBC ini,” ucapnya. (ian/nik)