Oleh: Maryanti, S.Pd.*)
PENDIDIKAN karakter menjadi isu penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Maraknya penggunaan gadget di kalangan generasi muda, utamanya para pelajar, menimbulkan dampak yang sangat luas. Di samping dampak positif, juga memberikan dampak yang kurang menguntungkan. Padahal tujuan Pendidikan Nasional bukan hanya keberhasilan secara akademik, tetapi juga tidak kalah penting adalah pembentukan dan pengembangan moral (karakter) yang baik.
Pada pembelajaran bahasa Jawa di SMP, banyak siswa yang kurang memahami perilaku berbahasa yang baik dan santun sesuai dengan unggah-ungguh yang benar. Siswa kesulitan dalam menerapkan penggunaan kosa kata bahasa Jawa sesuai dengan tatakrama berbahasa yang benar. Kondisi ini menyebabkan pembelajaran tidak efektif.
Menurut Usman dan Asnawir (2002), kondisi tersebut disebabkan adanya kecenderungan penyampaian dengan metode yang kurang tepat (ceramah), ketidaksiapan siswa, kurangnya minat dan semangat belajar.
Hal ini juga terlihat pada proses pembelajaran di kelas IX C SMP Negeri 1 Nguntoronadi semester gasal tahun pelajaran 2022/2023. Khususnya pembelajaran Bahasa Jawa pada kompetensi dasar (KD) memahami unggah-ungguh basa.
Guru hanya menggunakan media text book dengan cara membaca dan menyimak materi pada buku paket maupun lembar kerja siswa (LKS). Penggunaan media tersebut masih monoton dan tidak variatif, sehingga kurang menarik perhatian siswa untuk belajar. Hal ini menyebabkan hasil belajar siswa rendah, dimana rata-rata masih di bawah KKM yaitu 75. Buktinya dari 28 siswa baru 15 atau 53,57 persen yang memperoleh nilai di atas 75.
Melihat fenomena tersebut, guru berusaha untuk menciptakan proses pembelajaran yang berbeda. Salah satu usaha tersebut adalah dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat. Sebab media pembelajaran merupakan komponen yang sangat berpengaruh dan perlu diperhatikan. Media berperan sebagai penyalur antara siswa dengan materi yang disampaikan oleh guru. Media pembelajaran yang dipilih guru adalah “bermain peran sandiwara”.
Menurut Ki Hajar Dewantara, istilah sandiwara dapat diartikan sebagai pengajaran yang dilakukan secara pralambang atau secara tidak langsung (ora blak-blakan) yang berisi pesan terhadap penonton/masyarakat. Menurut KBBI, sandiwara adalah pertunjukan lakon atau cerita (yang dimainkan oleh orang). Sandiwara atau sering disebut juga lakon adalah suatu jenis cerita yang bisa dalam bentuk tertulis ataupun tidak tertulis yang utamanya bertujuan untuk dipentaskan.
Adapun tahapan pembelajaran adalah, pertama, guru menyiapkan beberapa judul naskah sandiwara. Kedua, siswa dibagi menjadi tujuh kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari empat orang. Ketiga, guru membagikan naskah sandiwara. Tiap kelompok menerima satu set naskah sandiwara. Keempat, masing-masing kelompok membagi peran sesuai dengan tokoh yang tertulis pada naskah yang diterima.
Mereka mempelajari dan menghafal dialog sesuai dengan bagiannya. Kelima, tiap kelompok memperagakan dialog secara bergantian, sedangkan kelompok lain mengamati serta memberikan kritik dan saran. Keenam, setelah semua kelompok selesai memperagakan, guru memberikan refleksi, penguatan dan kesimpulan kaitannya dengan pemahaman unggah-ungguh atau tatakrama berbahasa.
Hasil analisis sebelum dan selama penerapan pembelajaran “bermain peran sandiwara”, minat belajar siswa mengalami peningkatan dan berimbas pada peningkatan hasil belajar. Selain itu, persentase ketuntasan klasikal siswa juga mengalami peningkatan, yaitu dari dari 53,57 persen, meningkat menjadi 89,28 persen.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran “bermain peran sandiwara” mampu meningkatkan hasil belajar memahami unggah-ungguh. (*)
*) Guru Bahasa Jawa SMPN 1 Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri