Oleh: Eni Suharyati,S.Pd.*)
KETERAMPILAN berbicara bagi sebagaian besar siswa bukan merupakan hal yang mudah. Hal ini terbukti lebih dari 75 persen siswa kelas IX khususnya di IX E SMP Negeri 2 Jatiroto memiliki kemampuan yang rendah dalam berbicara.
Hanya satu dua anak yang sudah baik dan mampu untuk berbicara menggunakan Bahasa Inggris, tetapi sebagian besar masih memprihatinkan. Nilai rata-rata yang dicapai lebih rendah daripada KKM yang diharapkan yaitu 75.
Kenyataanya bahwa sebagian besar siswa merasa malu ketika disuruh gurunya berbicara di depan kelas. Secara psikologis, siswa yang tidak memiliki kemampuan akan merasa rendah diri.
Perasaan rendah diri inilah yang kemudian memunculkan rasa malu. Bisa dibayangkan seorang siswa harus berdiri di depan teman-temannya satu kelas untuk berbicara menggunakan bahasa yang bahkan menurut mereka itu adalah bahasa asing. Dan akhirnya munculah perasaan takut dan malu.
Selama ini, guru belum mengajari siswanya tentang cara berbicara dengan baik dan benar. Yang terjadi adalah guru menyodorkan bacaan (reading texts), kemudian meminta siswa membaca dengan lantang dan langsung dinilai.
Proses ini dilakukan tanpa didahului dengan arahan, bimbingan, dan latihan yang madai. Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab rendahnya kemampuan siswa dalam berbicara, yakni materi pelajaran yang disampaikan terlalu sulit, media pembelajaran berbicara kurang, minat belajar siswa rendah, dan cara mengajar guru yang belum tepat.
Banyak pendekatan, metode, dan teknik yang dapat dipergunakan dalam pengajaran berbicara. Penggunaan metode yang tepat mampu membuat pelajaran yang dahulu dianggap susah berubah menjadi mudah.
Pelajaran yang dahulu dibenci berbalik menjadi disukai, dan pelajaran yang dahulu menakutkan berganti menjadi menyenangkan. Guru memegang peranan sangat penting dalam mewujudkan keberhasilan pembelajaran.
Untuk itu perlu dilakukan suatu langkah nyata, yaitu dengan menerapkan metode team grouping stories, yaitu membentuk kelompok-kelompok (group) yang lebih kecil untuk menumbuhkan keberanian siswa dalam berbicara.
Siswa akan lebih nyaman dan lebih percaya diri ketika berbicara dari group yang lebih kecil dulu sebelum didepan kelas. Menurut Wina Sanjaya (2012:124), kelompok (grouping) adalah perkumpulan dua siswa atau lebih yang berinteraksi secara tatap muka dan setiap individu menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompoknya, sehingga mereka merasa memiliki dan merasa saling ketergantungan secara positif.
Adapun role play dari metode tesebut adalah siswa belajar secara grouping yang terdiri dari empat hingga enam siswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, dan satu sama lain saling membantu.
Tujuan dibentuknya team grouping stories adalah memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam kegiatan belajar.
Selama bekerja dalam group, tugasnya adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan oleh guru, dan saling membantu team works untuk mencapai ketuntasan belajar.
Selama belajar secara kooperatif, siswa tetap tinggal bersama team works dalam group masing-masing selama beberapa kali pertemuan. Mereka diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik bersama team, seperti menjadi pendengar aktif, memberikan penjelasan kepada team works dengan baik, berdiskusi dan sebagainya.
Dengan menggunakan teknik team grouping stories, guru akan lebih mudah menyampaikan materi berbicara. Dengan begitu, siswa lebih aktif dan memiliki keberanian untuk tampil di depan kelas.
Ketertarikan pada materi akan muncul, sehingga kesenangan akan berbicara tumbuh pada siswa. Secara otomatis siswa suka kepada materi juga kepada gurunya. Yang pada akhirnya mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam berbicara menggunakan Bahasa Inggris.
*) Guru Bahasa Inggris SMPN 2 Jatiroto, Kabupaten Wonogiri