30.7 C
Surakarta
Friday, 24 March 2023

Memikirkan Kembali Hubungan Industrial Pancasila

Oleh Imron Rosyadi, selaku Lektor Kepala FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Duka mendalam menyayat hati keluarga korban ledakan dan kebakaran sebuah tungku, di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bijih nikel menjadi nickel pig iron, di PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) Morowali Utara, Sulawesi Tengah, pada 22 Desember 2022. Peristiwa pilu tersebut terjadi sekira pukul 03.00 dini hari.

Insiden tersebut menyebabkan dua korban jiwa, atas nama Nirwana Selle dan Made (operator crane GNI). Bahkan menurut sumber tepercaya, kondisi jasad sangat miris. Keduanya dievakuasi dalam keadaan telah menjadi abu, dan tersisa sedikit tulang-belulang.

Peristiwa tragis tersebut seketika mengundang empati dan keprihatinan mendalam, dari teman-teman Nirwana sesama pekerja GNI. Mereka menuntut pertanggungjawaban manajemen GNI, terhadap insiden kecelakaan kerja fatal yang merenggut korban jiwa.

Selanjutnya, serikat pekerja setempat mempersoalkan aspek keselamatan kerja yang diterapkan GNI. Terutama perihal ketersediaan alat pemadam api ringan (APAR), serta jalur evakuasi pekerja untuk menyelamatkan diri. Sebab api yang menghanguskan jasad kedua korban, bersumber dari korsleting crane di sekitar posisi kerja mereka.

Ketidakadilan

Beberapa hari setelah kejadian, viral di media sosial (medsos) draf pernyataan tuntutan serikat pekerja setempat kepada manajeman GNI. Tuntutan tersebut antara lain, pembagian alat pelindung diri (APD) yang dijanjikan perusahaan tak kunjung dilakukan. Padahal pemakaian APD lengkap telah dijadwalkan pihak manajemen GNI.

Tampaknya insiden kebakaran, dan diabaikannya tuntutan pekerja tersebut oleh pihak manajemen GNI, berbuntut panjang. Belum genap sebulan setelah kematian tragis Nirwana dan Made, peristiwa nahas di GNI kembali terjadi.

Dilaporkan pada 14 Januari 2023 dini hari, terjadi bentrokan berdarah antara tenaka kerja asing (TKA) asal Tiongkok dengan pekerja Indonesia. Akibat bentrokan tersebut, dilaporkan dua orang tewas dan sembilan lainnya luka-luka.

Sementara itu terkait kejadian ini, beredar video amatir yang memperlihatkan sekelompok pekerja asal Tiongkok menyeret pipa besi. Mengejar pekerja domestik, serta menghancurkan sejumlah kendaraan.

Bercermin dari rentetan kejadian tersebut, setidaknya terdapat sejumlah faktor pemicu terjadinya bentrokan antara pekerja asing dengan pribumi. Pertama, buruknya praktik hubungan industrial antara GNI dengan pekerja. Terutama perselisihan yang timbul, karena tidak dipenuhinya hak-hak perlindungan keamanan bagi pekerja.

Selain itu, peraturan atau informasi yang ditujukan kepada para pekerja tidak dikomunikasikan dengan baik. Sehingga kerap menimbulkan kesalahpahaman di antara pekerja kelompok asing dan domestik. Serta peraturan perusahaan dibuat secara sepihak, demi kepentingan pabrik an sich dan pekerja asing.

Sementara itu, dalam Undang-Undang (UU) terdapat suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja atau buruh, serta pemerintah. Didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Hubungan industrial tersebut diharapkan tercipta sedemikian rupa, agar aman, harmonis, serasi, dan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan bangsa (Pasal 1 Angka 16 UU No. 13 Tahun 2003).

Kedua, ketidakadilan dalam sistem pengupahan. Sehingga menimbulkan ketegangan sosial, dan kecemburuan sosial antarkelompok pekerja (asing dan domestik). Pemberian upah yang dipandang tidak adil, bisa memicu “percikan api” kemarahan pekerja domestik terhadap TKA Tiongkok. Karena mungkin sikapnya pethentangpethenteng (sombong).

Menurut catatan serikat buruh PPMI/KBMI (2023) dengan beban kerja, dan jenis pekerjaan yang sama, pekerja domestik menerima upah Rp 5 jutaan per bulan. Sedangkan pekerja asing menerima upah Rp15 jutaan per bulan.

Manajemen berdalih, besaran upah pekerja domestik disesuaikan upah minimum regional (UMR). Sedangkan pekerja asing disesuaikan upah internasional. Meskipun dalih tersebut terdengar wajar, namun menimbulkan perbedaan jomplang dan mengusik rasa keadilan.

Ketiga, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) belum dilakukan dengan baik. Kerap menimbulkan kecelakaan kerja dan/atau sakit. Sebab peristiwa tragis yang menimpa Nirwana dan Made, diduga kuat karena kelalaian perusahaan. Tidak memberi akses keselamatan memadai.

Padahal sesuai regulasi, K3 merupakan segala kegiatan untuk menjamin serta melindungi  keselamatan  dan  kesehatan  tenaga kerja. Melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

Keempat, lemahnya pengawasan pemerintah. Menurut penuturan sejumlah aktivis buruh, Dinas Ketenagaan Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Morowali Utara tidak bisa menjalankan tugas pengawasan. Lantaran petugas disnakertrans dilarang memasuki area pabrik GNI.

Padahal tugas pemerintah dalam konteks hubungan industrial, adalah menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, serta penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan (Pasal 102 UU No. 13 Tahun 2003).

Pendekatan Pancasila

Mengacu uraian di atas, hubungan industrial yang dipraktikkan manajemen GNI, terutama sitem pengupahan tidak sesuai nilai-nilai Pancasila. Sebab sistem pengupahan dibangun atas dasar kepentingan pabrik secara sepihak.

Sedangkan sistem pengupahan Pancasila, didasarkan prinsip keadilan sosial. Prinsip dalam sistem pengupahan Pancasila sebagai berikut. Pertama, prinsip utama keadilan sosial terletak pada kejelasan perjanjian, termasuk komitmen menjalankan perjanjian itu.

Dalam konteks hubungan industrial, berarti sebelum pekerja di pekerjakan terlebih dahulu, ada perjanjian yang mengikat kedua belah pihak. Perihal beban atau jenis pekerjaan, jaminan keselamatan atau kesehatan, besaran upah, bonus, upah lembur, tata cara pembayaran upah, dan lainnya.

Kedua, besaran upah sesuai beban atau jenis pekerjaan. Besaran upah yang dibayarkan, sesuai beban pekerjaan, skill yang dimiliki, dan risiko yang ditanggung pekerja. Dalam konteks GNI, upah lembur pekerja bagian operator crane, mestinya lebih besar daripada crew yang membantu.

Ketiga, penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) diterapkan secara adil. Maknanya penghargaan (bonus, kompensasi prestasi kerja, dan perbaikan fasilitas kerja) diberikan dengan mempertimbangkan dedikasi pekerja, kemanfaatan bagi perusahaan, disiplin, loyalitas, serta prestasinya. Sebaliknya bagi pekerja yang mangkir, dihukum setimpal dengan kesalahannya.

Keempat, hubungan industrial Pancasila dibangun di atas fondasi persaudaraan. Bukan sekadar hubungan antara majikan (perusahaan) dan budak (buruh). Sehingga spirit persaudaraan ini mengantarkan perusahaan pada sikap mengasihi, melidungi, dan menyejahterakan pekerjanya. Serta cenderung berbuat adil terhadap pekerjanya, dan dijauhkan dari sikap aniaya. (*)

Oleh Imron Rosyadi, selaku Lektor Kepala FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Duka mendalam menyayat hati keluarga korban ledakan dan kebakaran sebuah tungku, di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bijih nikel menjadi nickel pig iron, di PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) Morowali Utara, Sulawesi Tengah, pada 22 Desember 2022. Peristiwa pilu tersebut terjadi sekira pukul 03.00 dini hari.

Insiden tersebut menyebabkan dua korban jiwa, atas nama Nirwana Selle dan Made (operator crane GNI). Bahkan menurut sumber tepercaya, kondisi jasad sangat miris. Keduanya dievakuasi dalam keadaan telah menjadi abu, dan tersisa sedikit tulang-belulang.

Peristiwa tragis tersebut seketika mengundang empati dan keprihatinan mendalam, dari teman-teman Nirwana sesama pekerja GNI. Mereka menuntut pertanggungjawaban manajemen GNI, terhadap insiden kecelakaan kerja fatal yang merenggut korban jiwa.

Selanjutnya, serikat pekerja setempat mempersoalkan aspek keselamatan kerja yang diterapkan GNI. Terutama perihal ketersediaan alat pemadam api ringan (APAR), serta jalur evakuasi pekerja untuk menyelamatkan diri. Sebab api yang menghanguskan jasad kedua korban, bersumber dari korsleting crane di sekitar posisi kerja mereka.

Ketidakadilan

Beberapa hari setelah kejadian, viral di media sosial (medsos) draf pernyataan tuntutan serikat pekerja setempat kepada manajeman GNI. Tuntutan tersebut antara lain, pembagian alat pelindung diri (APD) yang dijanjikan perusahaan tak kunjung dilakukan. Padahal pemakaian APD lengkap telah dijadwalkan pihak manajemen GNI.

Tampaknya insiden kebakaran, dan diabaikannya tuntutan pekerja tersebut oleh pihak manajemen GNI, berbuntut panjang. Belum genap sebulan setelah kematian tragis Nirwana dan Made, peristiwa nahas di GNI kembali terjadi.

Dilaporkan pada 14 Januari 2023 dini hari, terjadi bentrokan berdarah antara tenaka kerja asing (TKA) asal Tiongkok dengan pekerja Indonesia. Akibat bentrokan tersebut, dilaporkan dua orang tewas dan sembilan lainnya luka-luka.

Sementara itu terkait kejadian ini, beredar video amatir yang memperlihatkan sekelompok pekerja asal Tiongkok menyeret pipa besi. Mengejar pekerja domestik, serta menghancurkan sejumlah kendaraan.

Bercermin dari rentetan kejadian tersebut, setidaknya terdapat sejumlah faktor pemicu terjadinya bentrokan antara pekerja asing dengan pribumi. Pertama, buruknya praktik hubungan industrial antara GNI dengan pekerja. Terutama perselisihan yang timbul, karena tidak dipenuhinya hak-hak perlindungan keamanan bagi pekerja.

Selain itu, peraturan atau informasi yang ditujukan kepada para pekerja tidak dikomunikasikan dengan baik. Sehingga kerap menimbulkan kesalahpahaman di antara pekerja kelompok asing dan domestik. Serta peraturan perusahaan dibuat secara sepihak, demi kepentingan pabrik an sich dan pekerja asing.

Sementara itu, dalam Undang-Undang (UU) terdapat suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja atau buruh, serta pemerintah. Didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Hubungan industrial tersebut diharapkan tercipta sedemikian rupa, agar aman, harmonis, serasi, dan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan bangsa (Pasal 1 Angka 16 UU No. 13 Tahun 2003).

Kedua, ketidakadilan dalam sistem pengupahan. Sehingga menimbulkan ketegangan sosial, dan kecemburuan sosial antarkelompok pekerja (asing dan domestik). Pemberian upah yang dipandang tidak adil, bisa memicu “percikan api” kemarahan pekerja domestik terhadap TKA Tiongkok. Karena mungkin sikapnya pethentangpethenteng (sombong).

Menurut catatan serikat buruh PPMI/KBMI (2023) dengan beban kerja, dan jenis pekerjaan yang sama, pekerja domestik menerima upah Rp 5 jutaan per bulan. Sedangkan pekerja asing menerima upah Rp15 jutaan per bulan.

Manajemen berdalih, besaran upah pekerja domestik disesuaikan upah minimum regional (UMR). Sedangkan pekerja asing disesuaikan upah internasional. Meskipun dalih tersebut terdengar wajar, namun menimbulkan perbedaan jomplang dan mengusik rasa keadilan.

Ketiga, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) belum dilakukan dengan baik. Kerap menimbulkan kecelakaan kerja dan/atau sakit. Sebab peristiwa tragis yang menimpa Nirwana dan Made, diduga kuat karena kelalaian perusahaan. Tidak memberi akses keselamatan memadai.

Padahal sesuai regulasi, K3 merupakan segala kegiatan untuk menjamin serta melindungi  keselamatan  dan  kesehatan  tenaga kerja. Melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

Keempat, lemahnya pengawasan pemerintah. Menurut penuturan sejumlah aktivis buruh, Dinas Ketenagaan Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Morowali Utara tidak bisa menjalankan tugas pengawasan. Lantaran petugas disnakertrans dilarang memasuki area pabrik GNI.

Padahal tugas pemerintah dalam konteks hubungan industrial, adalah menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, serta penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan (Pasal 102 UU No. 13 Tahun 2003).

Pendekatan Pancasila

Mengacu uraian di atas, hubungan industrial yang dipraktikkan manajemen GNI, terutama sitem pengupahan tidak sesuai nilai-nilai Pancasila. Sebab sistem pengupahan dibangun atas dasar kepentingan pabrik secara sepihak.

Sedangkan sistem pengupahan Pancasila, didasarkan prinsip keadilan sosial. Prinsip dalam sistem pengupahan Pancasila sebagai berikut. Pertama, prinsip utama keadilan sosial terletak pada kejelasan perjanjian, termasuk komitmen menjalankan perjanjian itu.

Dalam konteks hubungan industrial, berarti sebelum pekerja di pekerjakan terlebih dahulu, ada perjanjian yang mengikat kedua belah pihak. Perihal beban atau jenis pekerjaan, jaminan keselamatan atau kesehatan, besaran upah, bonus, upah lembur, tata cara pembayaran upah, dan lainnya.

Kedua, besaran upah sesuai beban atau jenis pekerjaan. Besaran upah yang dibayarkan, sesuai beban pekerjaan, skill yang dimiliki, dan risiko yang ditanggung pekerja. Dalam konteks GNI, upah lembur pekerja bagian operator crane, mestinya lebih besar daripada crew yang membantu.

Ketiga, penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) diterapkan secara adil. Maknanya penghargaan (bonus, kompensasi prestasi kerja, dan perbaikan fasilitas kerja) diberikan dengan mempertimbangkan dedikasi pekerja, kemanfaatan bagi perusahaan, disiplin, loyalitas, serta prestasinya. Sebaliknya bagi pekerja yang mangkir, dihukum setimpal dengan kesalahannya.

Keempat, hubungan industrial Pancasila dibangun di atas fondasi persaudaraan. Bukan sekadar hubungan antara majikan (perusahaan) dan budak (buruh). Sehingga spirit persaudaraan ini mengantarkan perusahaan pada sikap mengasihi, melidungi, dan menyejahterakan pekerjanya. Serta cenderung berbuat adil terhadap pekerjanya, dan dijauhkan dari sikap aniaya. (*)

Populer

Berita Terbaru

spot_img