30.7 C
Surakarta
Friday, 24 March 2023

Penguatan Rantai Nilai Industri Halal

Oleh Imron Rosyadi (Peneliti PSEI-FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta)

SALAH satu strategi pengembangan ekonomi syariah di tanah air, adalah penguatan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pilihan strategi ini sangat tepat, mengingat UMKM merupakan skala usaha yang kuantitasnya dominan di Indonesia. Selain itu mampu menyerap 80 persen tenaga kerja nasional.

Kemenkop/UKM (2021) mencatat, pada 2019 jumlah UMKM mencapai 62.922.617 unit. Mampu menyerap 116.431.224 tenaga kerja. Setahun kemudian, meningkat menjadi 64.194.057 unit (tumbuh 2 persen), dan menyerap 116.978.631 tenaga kerja.

Wajar jika UMKM dipercaya menjadi roda penggerak utama pertumbuhan industri halal. Sekaligus bagian terbesar dari rangkaian rantai nilai industri halal. Sehingga diharapkan mampu menciptakan efek pemerataan, kesejahteraan, dan kemandirian bangsa.

Tantangan

Namun tantangan yang dihadapi stakeholder dan industri halal tidaklah ringan. Faktanya, UMKM masih berhadapan dengan berbagai keterbatasan bersifat klasik. Antara lain mayoritas UMKM tergolong usaha berskala mikro, mencapai 98,68 persen. Selebihnya berskala usaha kecil dan menengah.

Sejatinya jumlah itu merupakan kekuatan. Tapi umumnya usaha mikro dijalankan dengan manajemen tradisional (asal-asalan), dan kurang tersentuh teknologi mutakhir. Justru populasi dominan itu menjadi kelemahan. Serta menghambat akselerasi pertumbuhan usaha.

Masalah kian pelik, ketika usaha mikro menghadapi dampak pandemi Covid-19, dua tahun lalu. Pembatasan mobilitas manusia melalui kebijakan social/physical distancing, kinerja UMKM terjun bebas. Bahkan sebagian gulung tikar.

Hasil survei DPUMKM-PK BI (2020), menunjukkan 77,5 persen UMKM di Jawa terdampak pandemi. Paling parah UMKM ekspor, usaha kerajinan, dan produk pendukung pariwisata.

Penyusutan kinerja produksi atau penjualan UMKM, diduga karena sejumlah faktor. Antara lain terhambatnya ekspor, penundaan atau pembatalan pesanan, kesulitan impor bahan baku, pembatalan event, penutupan destinasi wisata, serta tidak beroperasinya tempat titip jual produk (DPUMKM-PK BI, 2020).

Hasil survei DPUMKM-PK BI (2020) juga mengungkap berbagai risiko usaha yang dihadapi UMKM, dampak dari pandemi. Bedasarkan pengaduan 1.131 UMKM, 68 pesen di antaranya mengalami penurunan penjualan. Dan 12 persen kesulitan modal. Lalu distribusi terhambat (10 persen), kesulitan bahan baku (6 persen), dan produksi terhambat (4 persen).

Sementara jenis usaha yang mengalami penurunan penjualan, yakni ekonomi kreatif (kuliner, kerajinan, fashion, dan perhiasan), otomotif, produk pertanian (teh dan kopi), pariwisata (tour and travel dan oleh-oleh), serta jasa (digital printing).

Kondisi itu diperberat dengan kenaikan harga BBM, September  2022. Sehingga memicu inflasi indeks harga konsumen (IHK) pada Desember 2022, mencapai 5,51 persen  (YoY). Imbasnya, lonjakan harga komoditas pangan sangat membebani kelompok usaha mikro dan kecil.

Strategi

Hingga kini luka lebam bekas pukulan resesi ekonomi, dampak krisis kesehatan masih  terasa. Mengingat sebagian besar UMKM tergolong berskala mikro, maka diperlukan uluran tangan pemerintah. Melalui berbagai kebijkan stimulus, insentif, dan program pemberdayaan. Sehingga memungkinan UMKM dapat bertahan, dan keluar dari situasi sulit.

Patut diapresiasi respons pemerintah daerah, yang sigap mengambil kebijakan mendukung ketahanan UMKM pascapandemi. Seperti relaksasi pajak warung makan dan restoran, imbauan bagi aparatur sipil negara (ASN) untuk membeli produk UMKM, serta pembentukan pusat-pusat pemulihan dan kebangkitan UMKM.

Tak cukup sampai disitu, UMKM yang kesulitan modal memerlukan kebijakan bantuan modal kerja, relaksasi kredit, restrukturasi utang, hingga subsidi bunga.  Salut juga kepada sejumlah bank di daerah, yang mengambil penyesuaian kebijakan dan restrukturasi kredit.

Antara lain pemberian kredit baru atau tambahan dengan e-banking, penambahan kredit atau modal hingga 20 persen tanpa agunan tambahan, serta penundaan pembayaran pokok dan bunga.

Hal tersebut masih diperkuat kebijakan Bank Indonesia (BI), yang memangkas bunga kredit dan insentif pelonggaran giro wajib minimum (GWM) harian rupiah, bagi bank yang mengucuri pembiayaan UMKM.

Maka strategi utama pascapandemi untuk menguatkan UMKM ditempuh, melalui empat program utama. Pertama, pembentukan program edukasi untuk usaha mikro. Antara lain mendekatkan usaha mikro dengan teknologi informasi mutakhir. Sehingga pembelian bahan baku transaksi penjualan, hingga pembayaran bisa digitalisasi.

Kedua, fasilitas pembiayaan terintegrasi untuk UMKM. Memungkinkan UMKM terhubung secara otomatis dengan pembiayaan perbankan syariah. Atau kemungkinan penggunaan dana ZIS untuk menambah modal kerja.

Ketiga, pembangunan database UMKM. Pusat data atau informasi tunggal sangat strategis, untuk mendukung integrasi rantai nilai industri halal. Mulai dari industri bahan baku, teknologi, manufaktur, saluran distribusi, retailer, hingga pembiayaan syariah. Keempat, pembentukan program literasi UMKM, untuk meningkatkan kinerja usaha mikro agar bisa naik kelas.

Upaya mengukuhkan rantai nilai industri halal, tidak bisa tanpa melalui penguatan usaha mikro. Harus memberi akses seluas-luasnya, agar usaha mikro berkembang dan naik kelas menjadi usaha kecil atau menengah. (*)

Oleh Imron Rosyadi (Peneliti PSEI-FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta)

SALAH satu strategi pengembangan ekonomi syariah di tanah air, adalah penguatan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pilihan strategi ini sangat tepat, mengingat UMKM merupakan skala usaha yang kuantitasnya dominan di Indonesia. Selain itu mampu menyerap 80 persen tenaga kerja nasional.

Kemenkop/UKM (2021) mencatat, pada 2019 jumlah UMKM mencapai 62.922.617 unit. Mampu menyerap 116.431.224 tenaga kerja. Setahun kemudian, meningkat menjadi 64.194.057 unit (tumbuh 2 persen), dan menyerap 116.978.631 tenaga kerja.

Wajar jika UMKM dipercaya menjadi roda penggerak utama pertumbuhan industri halal. Sekaligus bagian terbesar dari rangkaian rantai nilai industri halal. Sehingga diharapkan mampu menciptakan efek pemerataan, kesejahteraan, dan kemandirian bangsa.

Tantangan

Namun tantangan yang dihadapi stakeholder dan industri halal tidaklah ringan. Faktanya, UMKM masih berhadapan dengan berbagai keterbatasan bersifat klasik. Antara lain mayoritas UMKM tergolong usaha berskala mikro, mencapai 98,68 persen. Selebihnya berskala usaha kecil dan menengah.

Sejatinya jumlah itu merupakan kekuatan. Tapi umumnya usaha mikro dijalankan dengan manajemen tradisional (asal-asalan), dan kurang tersentuh teknologi mutakhir. Justru populasi dominan itu menjadi kelemahan. Serta menghambat akselerasi pertumbuhan usaha.

Masalah kian pelik, ketika usaha mikro menghadapi dampak pandemi Covid-19, dua tahun lalu. Pembatasan mobilitas manusia melalui kebijakan social/physical distancing, kinerja UMKM terjun bebas. Bahkan sebagian gulung tikar.

Hasil survei DPUMKM-PK BI (2020), menunjukkan 77,5 persen UMKM di Jawa terdampak pandemi. Paling parah UMKM ekspor, usaha kerajinan, dan produk pendukung pariwisata.

Penyusutan kinerja produksi atau penjualan UMKM, diduga karena sejumlah faktor. Antara lain terhambatnya ekspor, penundaan atau pembatalan pesanan, kesulitan impor bahan baku, pembatalan event, penutupan destinasi wisata, serta tidak beroperasinya tempat titip jual produk (DPUMKM-PK BI, 2020).

Hasil survei DPUMKM-PK BI (2020) juga mengungkap berbagai risiko usaha yang dihadapi UMKM, dampak dari pandemi. Bedasarkan pengaduan 1.131 UMKM, 68 pesen di antaranya mengalami penurunan penjualan. Dan 12 persen kesulitan modal. Lalu distribusi terhambat (10 persen), kesulitan bahan baku (6 persen), dan produksi terhambat (4 persen).

Sementara jenis usaha yang mengalami penurunan penjualan, yakni ekonomi kreatif (kuliner, kerajinan, fashion, dan perhiasan), otomotif, produk pertanian (teh dan kopi), pariwisata (tour and travel dan oleh-oleh), serta jasa (digital printing).

Kondisi itu diperberat dengan kenaikan harga BBM, September  2022. Sehingga memicu inflasi indeks harga konsumen (IHK) pada Desember 2022, mencapai 5,51 persen  (YoY). Imbasnya, lonjakan harga komoditas pangan sangat membebani kelompok usaha mikro dan kecil.

Strategi

Hingga kini luka lebam bekas pukulan resesi ekonomi, dampak krisis kesehatan masih  terasa. Mengingat sebagian besar UMKM tergolong berskala mikro, maka diperlukan uluran tangan pemerintah. Melalui berbagai kebijkan stimulus, insentif, dan program pemberdayaan. Sehingga memungkinan UMKM dapat bertahan, dan keluar dari situasi sulit.

Patut diapresiasi respons pemerintah daerah, yang sigap mengambil kebijakan mendukung ketahanan UMKM pascapandemi. Seperti relaksasi pajak warung makan dan restoran, imbauan bagi aparatur sipil negara (ASN) untuk membeli produk UMKM, serta pembentukan pusat-pusat pemulihan dan kebangkitan UMKM.

Tak cukup sampai disitu, UMKM yang kesulitan modal memerlukan kebijakan bantuan modal kerja, relaksasi kredit, restrukturasi utang, hingga subsidi bunga.  Salut juga kepada sejumlah bank di daerah, yang mengambil penyesuaian kebijakan dan restrukturasi kredit.

Antara lain pemberian kredit baru atau tambahan dengan e-banking, penambahan kredit atau modal hingga 20 persen tanpa agunan tambahan, serta penundaan pembayaran pokok dan bunga.

Hal tersebut masih diperkuat kebijakan Bank Indonesia (BI), yang memangkas bunga kredit dan insentif pelonggaran giro wajib minimum (GWM) harian rupiah, bagi bank yang mengucuri pembiayaan UMKM.

Maka strategi utama pascapandemi untuk menguatkan UMKM ditempuh, melalui empat program utama. Pertama, pembentukan program edukasi untuk usaha mikro. Antara lain mendekatkan usaha mikro dengan teknologi informasi mutakhir. Sehingga pembelian bahan baku transaksi penjualan, hingga pembayaran bisa digitalisasi.

Kedua, fasilitas pembiayaan terintegrasi untuk UMKM. Memungkinkan UMKM terhubung secara otomatis dengan pembiayaan perbankan syariah. Atau kemungkinan penggunaan dana ZIS untuk menambah modal kerja.

Ketiga, pembangunan database UMKM. Pusat data atau informasi tunggal sangat strategis, untuk mendukung integrasi rantai nilai industri halal. Mulai dari industri bahan baku, teknologi, manufaktur, saluran distribusi, retailer, hingga pembiayaan syariah. Keempat, pembentukan program literasi UMKM, untuk meningkatkan kinerja usaha mikro agar bisa naik kelas.

Upaya mengukuhkan rantai nilai industri halal, tidak bisa tanpa melalui penguatan usaha mikro. Harus memberi akses seluas-luasnya, agar usaha mikro berkembang dan naik kelas menjadi usaha kecil atau menengah. (*)

Populer

Berita Terbaru

spot_img