30.7 C
Surakarta
Friday, 24 March 2023

RUU EBET dan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

Oleh Prof. Dr. Anton A. Setyawan S.E., M.Si. (Guru Besar Ilmu Manajemen, FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta)

PEMERINTAH pada 2022 meluncurkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan (EBT) untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Sebagai sebuah kebijakan untuk menarik investor lebih banyak dalam bisnis energi terbarukan.

Selanjutnya DPR RI menginisiasi Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), yang diharapkan mempercepat proses diversifikasi energi dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. RUU EBET ini diharapkan segera disahkan, untuk menjamin legalitas dan juga mengatur pemberian insentif bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Ancaman krisis energi, saat ini menjadi salah satu masalah yang patut diwaspadai. Harus segera dicari solusinya. Karena dunia dihadapkan ancaman krisis energi. Setelah kian berkurangnya energi fosil dan lambatnya transisi ke energi terbarukan. Kenaikan harga BBM, fluktuasi harga batu bara, dan kenaikan harga minyak nabati (minyak sawit) pada level global, bukti bahwa krisis energi sudah mengancam perekonomian global.

Krisis ekonomi global, salah satunya disebabkan kelangkaan energi. Dipakai sebagai instrumen untuk menaikkan posisi tawar-menawar dari sisi politik. Khususnya oleh negara-negara yang menguasai energi.

Di akhir pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Juli 2018, mereka menaikkan tarif impor beberapa komoditas dari Tiongkok. Inilah awal perang dagang antara kedua negara. Implikasinya, terjadi gangguan distribusi beberapa komoditas global. Termasuk minyak bumi dan batu bara. Lalu invasi Rusia ke Ukraina di awal 2022, menjadi konflik bersenjata terbaru. Berdampak pada krisis energi di Eropa Barat, yang memiliki ketergantungan tinggi pada pasokan gas dari Rusia.

Dalam situasi seperti ini, Indonesia sebenarnya beruntung. Negeri dengan sumber energi berlimpah, baik berupa potensi maupun yang sudah dimanfaatkan. Dan Indonesia punya cadangan energi fosil berupa minyak bumi, gas, dan batu bara melimpah.

Sumber energi terbarukan di Indonesia juga melimpah. Mulai dari biofuel berupa bioetanol dari jagung dan ubi kayu. Maupun biosolar dari tanaman jarak dan kelapa sawit. Sumber energi terbarukan yang lebih aman juga melimpah. Misalnya panas bumi, sinar matahari, ombak laut, angin, dan air. Pertanyaannya, sejauh mana pengembangan energi terbarukan berkontribusi pada perekonomian nasional?

Dampak Ekonomi Energi Terbarukan

Di Pasal 9 RUU EBET, yang dikategorikan energi terbarukan adalah nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (coal liquefaction), batubara tergaskan (coal gasification), dan sumber energi baru lainnya. Agak mengherankan karena sumber energi dari nabati, yaitu bioetanol dan biodiesel tidak disebutkan secara spesifik.

Sumber energi lain yang dianggap lebih bersih, yaitu sinar matahari, gelombang laut, angin, air, dan panas bumi juga tidak disebutkan secara detail. Ini menjadi sebuah catatan untuk mengkritisi RUU itu.

Energi fosil yang penguasaannya secara global dikuasai swasta, kian lama menjadi instrumen kontrol ekonomi politik dari perusahaan multinasional. Terutama dari negara pemilik sumber daya ekonomi, kepada negara lain yang lebih lemah. Penguasaan energi fosil oleh pihak tertentu (negara dan perusahaan multinasional) ini menyebabkan kesenjangan ekonomi global.

EBET berpeluang menciptakan energi lebih murah. Karena beberapa sumber energi mudah diakses setiap orang. Contohnya matahari, yang hanya memerlukan sel atau panel surya untuk menyimpan energi. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi matahari di Indonesia sangat besar, yaitu 4,8 Kwh/meter persegi atau sekira 112.000 GWp.

Ini bukti potensi energi matahari di Indonesia luar biasa besar. Namun pemanfaatannya belum banyak. Saat ini beberapa lembaga bisnis dan komunitas, sudah memanfaatkannya sebagai usaha diversifikasi energi.

EBET secara umum berdampak pada perekonomian melalui dua cara. Pertama, ada kemungkinan penurunan biaya produksi barang dan jasa. Karena sumber EBET lebih mudah diakses siapapun. EBET juga terkait dengan perkembangan teknologi. Semakin ada dukungan teknologi yang mengiringi penggunaan EBET, maka harganya kian murah.

Kedua, perubahan proses produksi barang dan jasa. EBET mengubah proses produksi serta proses bisnis barang dan jasa. Contohnya sebagai sumber energi pembangkit listrik. Saat ada transisi energi dari industri otomotif untuk penggunaan electronic vehicle atau kendaraan listrik, berarti ada perubahan proses produksi otomotif yang radikal. Ini positif, karena ada perkembangan ekonomi nasional yang mendukung terwujudnya ekonomi hijau.

Dalam praktik bisnis, EBET punya implikasi penting. Karena transisi energi bisa memperkuat daya saing bisnis. Ini terjadi karena dua hal. Pertama, efisiensi biaya. Karena EBET lebih murah, sehingga secara umum industri nasional mengalami efisiensi biaya. Kedua, daya saing muncul. Karena ada inovasi produk baru dan proses bisnis baru, akibat proses transisi energi dari fosil ke EBET.

Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

Pengesahan RUU EBET akan mempercepat terwujudnya pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Adalah pertumbuhan produk domestik bruto, dengan memperhitungkan kualitas lingkungan. Dalam paradigma pembangunan ekonomi konvensional, aktivitas ekonomi merupakan eksploitasi sumber daya ekonomi melalui pendekatan efisiensi dan maksimisasi output. Tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap penurunan kualitas lingkungan.

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan terkait pengesahan RUU EBET adalah, perubahan mindset produsen maupun pengguna energi di Indonesia. Pihak yang terdampak, di antaranya BUMN yang terkait dengan energi. Misalnya Pertamina dan PLN.

Pertamina harus membenahi organisasinya dan melakukan penyesuaian. Karena EBET bisa menjadi barang substitusi yang mengancam bisnis mereka. PLN juga harus menyesuaikan. Karena sumber energi listrik lebih murah, bisa didapatkan masyarakat dari EBET.

Meskipun di sisi lain, EBET juga meringankan beban PLN dalam memperluas cakupan wilayah yang tidak teraliri listrik.  RUU EBET diharapkan juga memberi jaminan, bahwa energi ini tetap dikuasai negara. Karena melepaskan EBET pada mekanisme pasar, bisa menciptakan oligarki baru. (*)

Oleh Prof. Dr. Anton A. Setyawan S.E., M.Si. (Guru Besar Ilmu Manajemen, FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta)

PEMERINTAH pada 2022 meluncurkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan (EBT) untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Sebagai sebuah kebijakan untuk menarik investor lebih banyak dalam bisnis energi terbarukan.

Selanjutnya DPR RI menginisiasi Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), yang diharapkan mempercepat proses diversifikasi energi dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. RUU EBET ini diharapkan segera disahkan, untuk menjamin legalitas dan juga mengatur pemberian insentif bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Ancaman krisis energi, saat ini menjadi salah satu masalah yang patut diwaspadai. Harus segera dicari solusinya. Karena dunia dihadapkan ancaman krisis energi. Setelah kian berkurangnya energi fosil dan lambatnya transisi ke energi terbarukan. Kenaikan harga BBM, fluktuasi harga batu bara, dan kenaikan harga minyak nabati (minyak sawit) pada level global, bukti bahwa krisis energi sudah mengancam perekonomian global.

Krisis ekonomi global, salah satunya disebabkan kelangkaan energi. Dipakai sebagai instrumen untuk menaikkan posisi tawar-menawar dari sisi politik. Khususnya oleh negara-negara yang menguasai energi.

Di akhir pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Juli 2018, mereka menaikkan tarif impor beberapa komoditas dari Tiongkok. Inilah awal perang dagang antara kedua negara. Implikasinya, terjadi gangguan distribusi beberapa komoditas global. Termasuk minyak bumi dan batu bara. Lalu invasi Rusia ke Ukraina di awal 2022, menjadi konflik bersenjata terbaru. Berdampak pada krisis energi di Eropa Barat, yang memiliki ketergantungan tinggi pada pasokan gas dari Rusia.

Dalam situasi seperti ini, Indonesia sebenarnya beruntung. Negeri dengan sumber energi berlimpah, baik berupa potensi maupun yang sudah dimanfaatkan. Dan Indonesia punya cadangan energi fosil berupa minyak bumi, gas, dan batu bara melimpah.

Sumber energi terbarukan di Indonesia juga melimpah. Mulai dari biofuel berupa bioetanol dari jagung dan ubi kayu. Maupun biosolar dari tanaman jarak dan kelapa sawit. Sumber energi terbarukan yang lebih aman juga melimpah. Misalnya panas bumi, sinar matahari, ombak laut, angin, dan air. Pertanyaannya, sejauh mana pengembangan energi terbarukan berkontribusi pada perekonomian nasional?

Dampak Ekonomi Energi Terbarukan

Di Pasal 9 RUU EBET, yang dikategorikan energi terbarukan adalah nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (coal liquefaction), batubara tergaskan (coal gasification), dan sumber energi baru lainnya. Agak mengherankan karena sumber energi dari nabati, yaitu bioetanol dan biodiesel tidak disebutkan secara spesifik.

Sumber energi lain yang dianggap lebih bersih, yaitu sinar matahari, gelombang laut, angin, air, dan panas bumi juga tidak disebutkan secara detail. Ini menjadi sebuah catatan untuk mengkritisi RUU itu.

Energi fosil yang penguasaannya secara global dikuasai swasta, kian lama menjadi instrumen kontrol ekonomi politik dari perusahaan multinasional. Terutama dari negara pemilik sumber daya ekonomi, kepada negara lain yang lebih lemah. Penguasaan energi fosil oleh pihak tertentu (negara dan perusahaan multinasional) ini menyebabkan kesenjangan ekonomi global.

EBET berpeluang menciptakan energi lebih murah. Karena beberapa sumber energi mudah diakses setiap orang. Contohnya matahari, yang hanya memerlukan sel atau panel surya untuk menyimpan energi. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi matahari di Indonesia sangat besar, yaitu 4,8 Kwh/meter persegi atau sekira 112.000 GWp.

Ini bukti potensi energi matahari di Indonesia luar biasa besar. Namun pemanfaatannya belum banyak. Saat ini beberapa lembaga bisnis dan komunitas, sudah memanfaatkannya sebagai usaha diversifikasi energi.

EBET secara umum berdampak pada perekonomian melalui dua cara. Pertama, ada kemungkinan penurunan biaya produksi barang dan jasa. Karena sumber EBET lebih mudah diakses siapapun. EBET juga terkait dengan perkembangan teknologi. Semakin ada dukungan teknologi yang mengiringi penggunaan EBET, maka harganya kian murah.

Kedua, perubahan proses produksi barang dan jasa. EBET mengubah proses produksi serta proses bisnis barang dan jasa. Contohnya sebagai sumber energi pembangkit listrik. Saat ada transisi energi dari industri otomotif untuk penggunaan electronic vehicle atau kendaraan listrik, berarti ada perubahan proses produksi otomotif yang radikal. Ini positif, karena ada perkembangan ekonomi nasional yang mendukung terwujudnya ekonomi hijau.

Dalam praktik bisnis, EBET punya implikasi penting. Karena transisi energi bisa memperkuat daya saing bisnis. Ini terjadi karena dua hal. Pertama, efisiensi biaya. Karena EBET lebih murah, sehingga secara umum industri nasional mengalami efisiensi biaya. Kedua, daya saing muncul. Karena ada inovasi produk baru dan proses bisnis baru, akibat proses transisi energi dari fosil ke EBET.

Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

Pengesahan RUU EBET akan mempercepat terwujudnya pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Adalah pertumbuhan produk domestik bruto, dengan memperhitungkan kualitas lingkungan. Dalam paradigma pembangunan ekonomi konvensional, aktivitas ekonomi merupakan eksploitasi sumber daya ekonomi melalui pendekatan efisiensi dan maksimisasi output. Tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap penurunan kualitas lingkungan.

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan terkait pengesahan RUU EBET adalah, perubahan mindset produsen maupun pengguna energi di Indonesia. Pihak yang terdampak, di antaranya BUMN yang terkait dengan energi. Misalnya Pertamina dan PLN.

Pertamina harus membenahi organisasinya dan melakukan penyesuaian. Karena EBET bisa menjadi barang substitusi yang mengancam bisnis mereka. PLN juga harus menyesuaikan. Karena sumber energi listrik lebih murah, bisa didapatkan masyarakat dari EBET.

Meskipun di sisi lain, EBET juga meringankan beban PLN dalam memperluas cakupan wilayah yang tidak teraliri listrik.  RUU EBET diharapkan juga memberi jaminan, bahwa energi ini tetap dikuasai negara. Karena melepaskan EBET pada mekanisme pasar, bisa menciptakan oligarki baru. (*)

Populer

Berita Terbaru

spot_img