30.7 C
Surakarta
Friday, 24 March 2023

Masih Timpang si Kaya dan si Miskin

HARGA barang-barang yang murah memang jadi kelebihan yang dimiliki Kota Solo. Ini merupakan kultur kebudayaan yang terbentuk sejak sekian lama sehingga membuat masyarakat Kota Bengawan merasa diuntungkan. Sebab, mereka bisa hidup nyaman meski kemampuan finansial tidak terlalu tinggi.

Di sisi lain, apa-apa murah bisa jadi indikasi rendahnya daya beli masyarakat dan kesejahteraan yang tidak merata sehingga masyarakat memilih yang serba murah itu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Jika dikaitkan dengan kota yang harganya murah, ini memang tipikal Solo dan Jogja. Artinya harga-harga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang standar itu tersedia dengan sangat terjangkau. Pada era 1990 misalnya. Nasi bungkus masih Rp 1.000 dan sekarang tidak naik begitu jauh.

Jika dilihat dari sudut pandang yang lain, sebetulnya ini tidak selalu baik. Sebab, ini bisa diartikan masih banyak orang miskin di Solo. Jika dibandingkan dengan pertumbuhan kota yang sedemikian pesat, jarak antara si miskin dan si kaya itu semakin lebar. Faktanya Solo ini strukturnya masih timpang. Ada yang sangat kaya dan ada juga yang sangat miskin.

Tahun lalu, pernah dilakukan riset terkait krisis perkotaan. Objek kajiannya adalah harapan masyarakat terhadap Kota Solo dari berbagai aspek kehidupan. Survei mengambil sampel sejumlah warga dari setiap kelurahan di Kota Solo. Terkait kenyamanan, kontrol warga, tidak adanya rasa takut, akses imajinasi dan kegembiraan, ketersediaan ruang publik, keadilan, dan kemandirian di wilayahnya.

Hasilnya, hanya 15 persen yang merasa pembangunan yang dilakukan pemerintah sudah sesuai dan tepat untuk mereka. Sementara sebagian lainnya masih merasa banyak pembangunan yang tidak pas dan kurang berdampak pada masyarakat.

Realitas yang ada belum sebanding dengan harapan masyarakat. Misalnya terhadap pembangunan. Ada masyarakat yang menilai daripada membangun ini lebih baik membanding itu. Temuan ini ada di beberapa kelurahan. Meski ada juga yang sudah cukup sesuai dengan harapan masyarakat. Sebab itu, dialog antara masyarakat dan pemerintah harus ditingkatkan walau forumnya sudah ada.

Dialog-dialog antara pemerintah dan masyarakat harus dibangun agar berbagai kebijakan bisa diterapkan dengan optimal. Sehingga kebijakan itu benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat, ketimbang hanya menguntungkan segelintir pihak atau investor. Kepentingan investor harus mengakomodasi kepentingan rakyat.

Pertanyaanya investasi itu mementingkan siapa? Jangan sampai mereka diberi akses besar untuk investasi sementara permasalahan warga hanya jadi beban pemerintah. Mengingat permasalahan seperti banjir, kemiskinan dan lainnya.

Jika kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya makin tinggi, berbagai permasalahan sosial akan muncul dengan sendirinya. Masyarakat akan merasa tidak aman dan tidak nyaman akibat ketimpangan-ketimpangan itu. Konflik muncul karena ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin. Konflik ini menimbulkan permasalahan yang meumbuhkan kecemburuan dan memicu terjadinya kekerasan. Sebab itu, desain Solo di masa depan harus dimatangkan sedemikian rupa sehingga kebijakan yang diambil bisa selalu berkelanjutan. Dengan demikian kebijakan yang diambil akan lebih pas untuk mengurangi jarak antara yang kaya dan yang miskin. (Disarikan dari wawancara wartawan Jawa Pos Radar Solo Silvester Kurniawan dengan Drajat Tri Kartono Sosiolog Universitas Sebelas Maret)

HARGA barang-barang yang murah memang jadi kelebihan yang dimiliki Kota Solo. Ini merupakan kultur kebudayaan yang terbentuk sejak sekian lama sehingga membuat masyarakat Kota Bengawan merasa diuntungkan. Sebab, mereka bisa hidup nyaman meski kemampuan finansial tidak terlalu tinggi.

Di sisi lain, apa-apa murah bisa jadi indikasi rendahnya daya beli masyarakat dan kesejahteraan yang tidak merata sehingga masyarakat memilih yang serba murah itu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Jika dikaitkan dengan kota yang harganya murah, ini memang tipikal Solo dan Jogja. Artinya harga-harga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang standar itu tersedia dengan sangat terjangkau. Pada era 1990 misalnya. Nasi bungkus masih Rp 1.000 dan sekarang tidak naik begitu jauh.

Jika dilihat dari sudut pandang yang lain, sebetulnya ini tidak selalu baik. Sebab, ini bisa diartikan masih banyak orang miskin di Solo. Jika dibandingkan dengan pertumbuhan kota yang sedemikian pesat, jarak antara si miskin dan si kaya itu semakin lebar. Faktanya Solo ini strukturnya masih timpang. Ada yang sangat kaya dan ada juga yang sangat miskin.

Tahun lalu, pernah dilakukan riset terkait krisis perkotaan. Objek kajiannya adalah harapan masyarakat terhadap Kota Solo dari berbagai aspek kehidupan. Survei mengambil sampel sejumlah warga dari setiap kelurahan di Kota Solo. Terkait kenyamanan, kontrol warga, tidak adanya rasa takut, akses imajinasi dan kegembiraan, ketersediaan ruang publik, keadilan, dan kemandirian di wilayahnya.

Hasilnya, hanya 15 persen yang merasa pembangunan yang dilakukan pemerintah sudah sesuai dan tepat untuk mereka. Sementara sebagian lainnya masih merasa banyak pembangunan yang tidak pas dan kurang berdampak pada masyarakat.

Realitas yang ada belum sebanding dengan harapan masyarakat. Misalnya terhadap pembangunan. Ada masyarakat yang menilai daripada membangun ini lebih baik membanding itu. Temuan ini ada di beberapa kelurahan. Meski ada juga yang sudah cukup sesuai dengan harapan masyarakat. Sebab itu, dialog antara masyarakat dan pemerintah harus ditingkatkan walau forumnya sudah ada.

Dialog-dialog antara pemerintah dan masyarakat harus dibangun agar berbagai kebijakan bisa diterapkan dengan optimal. Sehingga kebijakan itu benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat, ketimbang hanya menguntungkan segelintir pihak atau investor. Kepentingan investor harus mengakomodasi kepentingan rakyat.

Pertanyaanya investasi itu mementingkan siapa? Jangan sampai mereka diberi akses besar untuk investasi sementara permasalahan warga hanya jadi beban pemerintah. Mengingat permasalahan seperti banjir, kemiskinan dan lainnya.

Jika kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya makin tinggi, berbagai permasalahan sosial akan muncul dengan sendirinya. Masyarakat akan merasa tidak aman dan tidak nyaman akibat ketimpangan-ketimpangan itu. Konflik muncul karena ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin. Konflik ini menimbulkan permasalahan yang meumbuhkan kecemburuan dan memicu terjadinya kekerasan. Sebab itu, desain Solo di masa depan harus dimatangkan sedemikian rupa sehingga kebijakan yang diambil bisa selalu berkelanjutan. Dengan demikian kebijakan yang diambil akan lebih pas untuk mengurangi jarak antara yang kaya dan yang miskin. (Disarikan dari wawancara wartawan Jawa Pos Radar Solo Silvester Kurniawan dengan Drajat Tri Kartono Sosiolog Universitas Sebelas Maret)

Populer

Berita Terbaru

spot_img