BANJIR yang terjadi di Solo pada Kamis (16/2/2023) lalu itu bukan bencana alam. Tapi sebagai bencana lingkungan yang mestinya bisa diantisipasi dengan baik oleh pemerintah.
Permasalahan banjir di Solo dipicu karena berbagai permasalahan kompleks karena campur tangan manusia. Sebab itu, kurang tepat jika banjir kemarin lalu itu disebut sebagai bencana alam.
Bencana alam itu sesuatu yang tidak bisa dihindari manusia, kalau mau terjadi maka terjadilah. Misalnya gunung meletus, tsunasmi, gempa bumi dan lain sebagainya. Kalau banjir, apalagi banjir di Solo itu bukan bencana alam. Ini bencana lingkungan karena pemicunya adalah pengelolaan lingkungan yang tidak baik sehingga membuat limpasan-limpasan air itu terjebak di dalam kota dan mengakibatkan banjir atau genangan.
Banjir terjadi karena adanya lingkungan yang rusak sehingga daya dukung dan tampung lingkungan ini sudah terlampaui. Artinya lingkungan saat ini tak lagi bisa menampung limpasan air dari berbagai hal sehingga membuat Solo menjadi tempat reuni air hujan.
Nah, lingkungan rusak ini harus diperbaiki dulu agar tidak terulang kembali bencana-bencana seperti yang lalu. Tidak boleh hanya menyalahkan siklus hujan. Sebab, sejak zaman dulu curah hujan tinggi itu juga sering terjadi, tapi tidak banjir. Artinya, ini karena pengaruh lingkungan yang daya dukungnya sudah terlampaui.
Hal ini tidak lepas dari topografi kota yang bentuknya seperti cekungan. Sebab itu, tidak boleh hanya sebatas keheranan saat terjadi luapan di Solo karena transitori air itu ada di Bengawan Solo. Tidak bisa hanya sekadar menuduh banjir dipicu karena pembukaan pintu air WGM.
Dari sebelah barat, Kali Pepe dan Kali Premulung itu hulunya ada di Boyolali. Pada saat bersamaan juga diguyur hujan lebat. Belum lagi ditambah hujan yang juga mengguyur Solo dengan intensitas sangat tinggi dengan durasi panjang.
Ini tiga pemicu mengapa air di Solo benar-benar tersendat. Pembukaan pintu air WGM bisa jadi salah satu pemicu tapi bukan satu-satunya alasan banjir. Aliran air dari Boyolali itu mestinya langsung dilimpaskan ke Sungai Bengawan Solo, namun ada arus balik yang membuat tak bisa dialirkan ke Bengawan Solo.
Ini diperparah karena air dalam kota itu tak bisa ditampung juga dialirkan dengan baik. Cara memandangnya harus secara menyeluruh. Tidak bsa dipecah-pecah sesuai ego sektoral masing-masing. (Disarikan dari wawancara wartawan Radar Solo Silvester Kurniawan dengan Prabang Setyono, Pakar Lingkungan Universitas Sebelas Maret)