Oleh Dr. Edy Purwo Saputro, S.E., M.Si (Dosen Pascasarjana UMS)
KEHADIRAN Bank Syariah Indonesia (BSI) pada awal 2021, menjanjikan prospek terhadap kinerja. Data BSI menunjukan laba bersihnya semakin meningkat. Di satu sisi, fakta ini menjadi peluang BSI untuk meningkatkan kinerjanya. Terutama pascapandemi Covid-19, dan di sisi lain menjadi tantangan. Karena persaingan di industri perbankan cenderung ketat. Baik dalam bentuk generic competition maupun product form competition.
Artinya, tahun ini yang terancam resesi dan krisis, termasuk dampak sistemik perang Rusia-Ukraina. Maka tidak ada alasan untuk tidak memacu kinerja. Meski di 2024 akan ada hajatan Pemilu 2024.
Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui surat Nomor SR-3/PB.1/2021 terkait
penggabungan tiga bank (Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah) menjadi BSI, beroperasi mulai 1Februari 2021. Memberi tantangan ke depan dan ketatnya era persaingan perbankan.
BSI hadir tidak saja terkait evaluasi saat pandemi, tapi juga prospek dan tantangan di tahun ini. Karena sinergi di industri asuransi, multifinance, perusahaan pembayaran, dan sektor fintech. Era kekinian persaingan industri perbankan, bukan hanya dalam product form competition. Tetapi juga generic competition. Sehingga perbankan dituntut proaktif, buka reaktif melihat perkembangan yang ada. Karena nasabah semakin melek tuntutan pemenuhan kebutuhan pendanaan dan pembiayaan.
Realita ini menjadi tantangan BSI ke depannya. Jadi dua tahun pascahadir di Indonesia, maka prospek dan kinerja BSI menjadi taruhan. Akan dilihat peran nyata perbankan syariah dalam rutinitas kehidupan.
Kompetisi
Fakta yang ada, bukan terkait tuntutan kompleksitas persaingan, tapi juga eksistensi perbankan nasional. Kilas balik kinerja perbankan di 2022 dan prospek di 2023, memberi gambaran tentang sejumlah aspek yang menarik dicermati. Bukan hanya aspek persaingan, tapi juga prospek merger tiga bank syariah menjadi BSI.
Pasca konsolidasi, terjadi penurunan laba karena pandemi. Sehingga banyak debitur sulit membayar kewajiban. Belum lagi persoalan restrukturisasi kredit, dengan pertimbangan berlarutnya pandemi dan kini memasuki endemi.
Terlepas masa sulit itu, faktanya kinerja 2022 menunjukan sinyal positif. Mayoritas
perbankan mengalami penurunan laba, dipicu fakta kenaikan biaya pencadangan dampak pandemi. Selaras dengan peningkatan risiko akibat pandemi. Sehingga kualitas kredit menurun.
Fakta lainnya dari pendapatan bunga bersih (net interest income). Naik tipis sebagai
konsekuensi pandemi, yang berdampak sistemik terhadap resesi. Begitu juga potensi margin bunga yang dialami perbankan.
Harapannya, tentu ini akan berubah dengan optimisme yang memacu kinerja perbankan. Apalagi ada potensi persaingan semakin ketat, pasca hadirnya BSI. Meski menyasar  perbankan syariah, tapi potensi persaingan secara umum dan konvensional tetap terjadi.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menegaskan, kehadiran BSI di era digitalisasi menjanjikan persaingan lebih ketat. Tidak hanya sesama bisnis syariah, tetapi juga dengan perbankan konvensional. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia beragama muslim.
Cukup beralasan jika BSI diharap menjadi bank terbesar ke-8 di Indonesia, dengan penguasaan market share 2,4 persen. Didasari dari penggabungan tiga bank, yang memacu kapitalisasi dan kapabilitas perbankan syariah di Indonesia.
Pasca penggabungan, dipastikan kapitalisasinya masuk jajaran 10 besar bank syariah secara global, dengan kisaran USD 7miliar-8 miliar. Ini jadi modal untuk bersaing di pasar domestik dan global, demi merebut market share sektor syariah.
BSI diharapkan tak sekadar berkontribusi bagi perbankan syariah dalam negeri. Tapi juga mampu bersaing secara global. Sangat beralasan jika operasional dan layanan BSI
harus berstandar internasional. Dengan menjanjikan layanan modern, onlin, dan digital. Didukung institusi yang kredibel, kuat, dan profesional.
Artinya jika tidak menyiapkan sarana dan prasarana terbaik, dikhawatirkan akan kalah bersaing. Padahal kapitalisasi pasca penggabungan, memberi harapan terhadap potensi persaingan dan menjanjikan layanan terbaik.
Komitmen
Keyakinan capaian visi BSI menjadi 10 bank syariah terbesar di dunia, diperkuat aset senilai Rp 239,6 triliun per Desember 2020. Selain itu, dana pihak ketiga Rp 209,98
triliun, pembiayaan Rp 156,51 triliun, dan permodalan Rp 22,61 triliun.
Maka fokus operasional BSI tidak terlepas dari segmen usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Selaras dengan keberadaan BRI Syariah, yang sebelumnya memiliki pembiayaan untuk UMKM sebesar 41,33 persen.
Artinya, fakta ini menjanjikan bagi kinerja BSI untuk terlibat dalam pendanaan bagi UMKM. Supaya tumbuh dan berkembang, menjadi salah satu penopang pembangunan nasional. Padahal di masa pandemi, banyak UMKM dan sektor informal gulung tikar. Maka hadirnya BSI diharapkan memacu kembali kinerja UMKM.
BSI sepertinya harus berhadapan dengan pandemi. Ironisnya, nasabah dan UMKM bekerja di tengah himpitan ekonomi. Berharap mendapat rezeki dan disisihkan ke
tabungan.
Di sisi lain, berbagai kebijakan lockdown, PSBB, dan PPKM menjadi kendala produksi secara menyeluruh. Otomatis ekonomi bisnis tersendat. Sehingga berpengaruh pendapatan pelaku usaha yang turun. Termasuk juga mereka yang mendapat pembiayaan perbankan. Kesulitan mengangsur hutang plus cicilan.
Padahal kebutuhan pendanaan dan pembiayaan kini kian tinggi. Sementara persainganya kian kompetitif. Sehingga menuntut inovasi dalam layanan dan  bentuk.
Jadi, kinerja perbankan tahun ini semakin berat, Tidak hanya terimbas pandemi, tapi juga realita lemahnya daya beli dan saving. Maka BSI perlu memetakan problem yang ada. Sehingga bisa menentukan strategi tepat demi bersaing di industri perbankan, khususnya sektor syariah. Â (*)