Oleh Drs. Soleh Amini Yahman, M.Si., Psi. (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
KETIKA Kota Solo terjadi rusuh pada 14-15 Mei 1998 , dunia terkejut. Tidak percaya peristiwa dahsyat itu terjadi. Kota yang terkenal dengan keagungan budaya, lemah lembut budi bahasa, sopan santun perilaku, dan tepo sliro masyarakatnya terhadap sesama, tiba-tiba menjadi beringas. Meluluhlantakkan keindahan dan kecantikan kota bersemboyan Berseri (Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah) itu.
Konon, kerusuhan itu merupakan rentetan dari peristiwa yang terjadi sejak era 1755. Geger pecinan di era kerajaan Mataram. Terlepas benar dan tidaknya mitos tersebut, saya sangat meragukan peristiwa Mei 1998 tidak berkaitan dengan kerusuhan sebelumnya.
Alasan saya adalah, dalam kurun 1755-1998 bukanlah waktu yang pendek. Lebih dari dua abad, pasti sudah banyak perubahan yang terjadi. Di antaranya komposisi penduduk, situasi sosial ekonomi dan politik, serta pergeseran nilai.
Perpekstif saya sebagai psikolog sosial, kerusuhan 1998 lebih disebabkan konflik kultural, sosial, dan krisis ekonomi yang dibungkus kepentingan-kepentingan politik tertentu. Dilihat sepintas, kerusuhan 1998 adalah bagian dari kondisi masyarakat secara nasional.
Salah satu indikasinya, kerusuhan terjadi di awal lengsernya Soeharto dari singgasana kepresidenan. Menujukkan korelasi kuat, bahwa sumber kerusuhan bersifat politis. Artinya, aksi penjarahan yang menyertai kerusuhan tersebut bukanlah hal urgent. Penjarahan hanyalah akibat saja, yang penting adalah pembakaran toko (milik etnis Tiongkok). Agar memberi kesan kerusuhan terjadi karena sara (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Maka penjarahan oleh massa kala itu hanyalah latar belakang semata. Sedangkan foreground-nya masalah kekuasaan. Sumber masalahnya adalah konflik elit politik. Artinya, kerusuhan bukan dari dalam masyarakat Kota Bengawan sendiri, tetapi dari luar. Ada yang sengaja “mengompori” untuk perusakan toko, sehingga memancing penjarahan. Itulah yang disebut “provokator”.
Kebetulan atau tidak, kerusahan dan penjarahan terjadi setelah krisis moneter dan krisis ekonomi berkepanjangan. Harga bahan pangan naik cepat sekali. Sementara gaji atau pendapaan masyarakat tidak bertambah.
Selain itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Pengangguran menumpuk, hukum tidak lagi berdaya. Maka masyarakat mengalami anomali sosial atau cheos. Yaitu suatu penyimpangan tradisi budaya dari biasanya.
Prinsip-prinsip kehidupan Jawa yang rukun dan hormat menipis. Krisis kepercayaan merebak. Akhirnya emosi manusia tumpul. Hati nurani tak lagi bicara. Tolong-menolong jadi barang mahal dan langka. Akhirnya masyarakat terpaksa memasuki dunia “hukum rimba”.
Berlakulah teori Darwin “the survival of the fittest”. Yang kuat dialah yang menang. Sampai di sini kebudayaan sudah tak ada artinya lagi. Adanya tingga kekuatan fisik, otot, senjata tajam, batu, api atau apa saja yang bisa membuat mereka bertahan hidup. Akhirnya konsep dan cita-cita masyarakat madani yang dicita-citakan wong Solo menguap, tinggal angan-angan.
Masyarakat madani adalah civil society sistem. Sistem sosial yang subur dan diasaskan pada prinsip moral. Menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan kestabilan masyarakat. Tujuannya menciptakan masyarakat yang tak hanya berdasar konsep interaksi, atau menghilangkan diskriminasi dalam kehidupan sosial. Tapi juga menjadi kekuatan penyeimbang bagi kecenderungan dominasi negara. Maka tata pemerintahan yang baik, bersih, dan bertanggung jawab dapat terwujud.
Solo Menuju Masyarakat Madani
Tulisan ini tidak bertujuan membahas dan menganalisa kerusuhan 1998. Namun hanya sebagai catatan, bahwa peristiwa seperti itu tidak boleh terjadi lagi. Betapa supra dan infrastruktur Kota Solo hancur lebur karena itu.
Sikap masyarakat saat ini dapat dikelompokkan dalam empat fenomena. Pertama, reifikasi atau kondisi di mana kualitas, tindakan, dan hubungan antarmanusia ditransformasikan menjadi benda. Yakni sikap yang mengarah pada segala realitas. Bukan ditekankan pada nilai humanisme, tetapi pada nilai pragmatis dan materilistis.
Kedua, sikap manipulatif yang mengatasnamakan kepentingan rakyat atau umum. Tetapi sebenarnya untuk kepentingan pribadinya. Ketiga, kecenderungan fragmentasi yang mengarah pada suasana hidup berkelompok dalam bentuk konspirasi, nepotisme, dan lain-lain. Keempat, individualisasi pada kepentingan individu dan egoism. Tanpa menghiraukan tata dan norma nilai dalam sistem sosial budaya masyarakat.
Kerusuhan 1998 di Solo juga tidak lepas dari intervensi dan interaksi faktor ekternal. Sangat memengaruhi perubahan struktur tata nilai budaya masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, warga Solo perlu segera menyiapkan dan mendinamisasikan local genius unggulan. Demi menguatkan jati diri bangsa, agar tidak semakin terpuruk oleh intervensi global.
Ada empat langkah besar yang dapat ditempuh, guna membangun Kota Solo menjadi kota madani. Tentunya dalam tata nilai sosial budaya yang kondusif. Pertama, memperlebar keran komunikasi secara arif, dengan dilandasi pikiran positif yang ditujukan untuk kepentingan luas. Ini sudah ditempuh F.X Hadi Rudyatmo (Rudy), yang menjabat wali kota Surakarta, sebelum era Gibran Rakabuming Raka.
Dapat dilihat dari keaktifannya bermedia sosial untuk menjawab, menanggapi, dan memberi solusi atas persoalan pembangunan maupun sosial kemasyarakatan yang disampikan warga. Selain itu, lembaga wakil rakyat harus lebih diberdayakan. Sebagai lembaga penyalur komunikasi rakyat dengan pemerintahan.
Kedua, pengembangan konsep pembangunan bersifat bottom up plaining secara bijaksana. Masyarakat dilatih berani menyampikan pendapat secara santun. Dan pimpinan harus bersedia mendengarkan dan mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat. Maka kecenderungan manipulasi dapat dihindari.
Ketiga, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara luas. Agar masyarakat memahmi budaya bangsa secara utuh. Sehingga dapat membawa netralitas sikap aparat dalam politik, sikap jujur, disiplin, transparan, serta aspiratif sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Keempat, meningkatkan moral, etika, dan akhlak luhur. Sehingga pelanggaran terhadap tata nilai budaya berupa penjarahan, fitnah, pembakaran, pembunuhan, dan perbuatan tidak manusiawi sirna.
Keempat langkah tersebut harus diimplementasikan dalam perilaku operasional, sebagai tindakan riil. Berupa penegakan hukum secara konsisten, tanpa pandang bulu. Prinsip setiap warga negara mempunyai kedudukan dan hak yang sama di mata hukum, harus dijunjung tinggi.
Reorientasi konsep pembangunan Kota Solo harus diubah. Dari konsep Tri Kridha Utama (Solo kota budaya, olahraga, dan pariwisata), menjadi Panca Krida Utama. Yakni Kota Solo pusat budaya, ekonomi, pendidikan, pers, dan religius.
Potensi masyarakat sipil harus diberdayakan melalui otonomi daerah secara konsisten. Artinya, daerah diberi wewenang lebih luas dalam menentukan kebijakan pembangunan. Memberdayakan potensi ekonomi yang berorientasi pada rakyat banyak.
Misalnya koperasi dan usaha kecil, termasuk home industry. Konsekuensi dari tindakan ini adalah, mengubah orientasi pembangunan ekonomi yang mengarahkan Solo sebagai kota industri besar dan modern, menjadi kota industri kreatif berbasis rakyat (padat karya).
Selain itu, mengembalikan fungsi Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegara sebagai pusat pengembangan budaya. Bukan pusat industri pariwisata semata. Serta memperlebar kesempatan seluruh lapisan masyarakat dalam memperoleh pendidikan yang layak. Termasuk membangun manajemen dakwah bagi semua agama, dengan tetap berpegang teguh pada konsep lakum dinukum waliyadien. (*)