Oleh: Ambarwati, Doktor bidang Biologi Staf Pengajar Prodi Kesmas FIK UMS
Beberapa waktu yang lalu teman saya bercerita jika putranya kemungkinan buta warna. Dari awal dia sudah curiga ketika putranya tidak bisa membedakan warna dengan baik. Oleh karena itu, dia meminta putranya untuk membaca buku “Ishihara”. Dan benar, sang putra tidak bisa membaca buku untuk mengetes buta warna tersebut dengan benar.
Teman saya merespons hal tersebut dengan wajar. Dia menyadari betul bahwa dirinya carrier buta warna, karena ayahnya buta warna. Orang yang carrier buta warna, maka secara fenotif (sifat yang terlihat) akan normal, artinya dia bisa membedakan warna, namun demikian sebenarnya secara genotif (sifat yang tidak terlihat) dia membawa gen penyebab buta warna dalam tubuhnya.
Respons tersebut berbeda dengan suaminya. Suaminya tampak sangat marah ketika melihat putranya tidak bisa mengenal warna dengan baik. Dan yang disesalkan teman saya itu terkadang suaminya menunjukkan ketidaksenangannya.
Sejujurnya teman saya itu ingin mengatakan pada suaminya bahwa secara genetika memang ada kemungkinan putra mereka buta warna, tapi teman saya tidak punya keberanian untuk menjelaskannya.
Buta warna merupakan suatu keadaan di mana seseorang tidak bisa membedakan warna dengan baik. Buta warna termasuk salah satu kelainan genetik. Secara genetika buta warna merupakan kelainan yang pewarisannya termasuk rangkai kelamin, karena gen-gen yang terlibat dalam penurunan sifat ini terangkai pada kromosom kelamin.
Buta warna disebabkan oleh gen resesif terangkai kromosom X. Karena seorang wanita memiliki dua kromosom X (XX) maka terjadi dominansi buta warna pada wanita. Hal ini menyebabkan pada wanita terdapat tiga genotif dan dua fenotif, yaitu XX merupakan wanita normal, XCX merupakan wanita carrier dan XCXC merupakan wanita buta warna.
Berbeda dengan seorang laki-laki yang hanya memiliki satu kromosom X (XY), maka pada laiki-laki hanya ada dua kemungkinan genotif maupun fenotifnya. Yaitu XY untuk laki-laki normal dan XCY untuk laki-laki buta warna. Sebab itu, seorang laki-laki tidak bisa “berbohong” dalam hal buta warna. Kalau normal ya normal, kalau buta warna ya buta warna.
Hal ini menyebabkan probabilitas kejadian buta warna di dunia ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Karena untuk menjadi buta warna, seorang laki-laki hanya membutuhkan satu XC (XCY), sedangkan untuk perempuan memerlukan dua XC (XCXC).
Perlu diketahui pula bahwa pewarisan buta warna ini terjadi secara menyilang. Jadi seorang anak laki-laki yang buta warna disebabkan karen gen yang dibawa oleh ibunya, sebaliknya seorang anak perempuan yang carrier gennya diturunkan dari ayahnya.
Sebagai gambaran, bila terjadi perkawinan antara seorang wanita carrier buta warna (XXC) dengan seorang laki-laki normal (XY), maka kemungkinan anak-anak perempuan mereka akan terlahir sebagai carrier buta warna (XXC) sebesar 50 persen dan terlahir normal (XX) juga 50 persen (secara fenotif 100 persen anak terlahir normal) dan tidak ada anak perempuan yang buta warna, sedangkan kemungkinan yang terjadi pada anak laki-laki mereka, yang buta warna (XCY) 50 persen dan normal (XY) juga 50 persen.
Coba kita bandingkan dengan kejadian, jika seorang wanita carrier (XCX) menikah dengan laki-laki buta warna (XCY). Maka kemungkinan yang terjadi pada pasangan ini adalah: anak perempuan mereka akan terlahir buta warna (XCXC) adalah 50 persen, carrier (XCX) juga 50 persen dan tidak ada yang normal (XX), sedangkan anak laki-laki mereka, kemungkinan terlahir buta warna (XCY) 50 persen dan normal (XY) juga 50 persen.
Berdasarkan contoh tesebut, seorang ibu yang carrier buta warna dimungkinkan memiliki anak laki-laki yang buta warna, meskipun suaminya normal.
Konsultasi genetika pra nikah, bukan dimaksudkan untuk menggagalkan suatu rencana pernikahan, jika diketahui kemungkinan terjadinya kelainan genetik pada keturunan mereka.
Konsultasi pra nikah dimasudkan agar kedua belah pihak, baik calon pengantin laki-laki maupun calon mempelai perempuan mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan kelainan yang diturunkan.
Dengan demikian kedua belah pihak lebih siap dan dapat menerima keadaan, sehingga tidak saling menyalahkan.
Sebaiknya dihindari pernikahan antara seorang laki-laki buta warna dengan seorang perempuan carrier. Apalagi perkawinan antara seorang laki-laki buta warna dengan seorang perempuan buta warna. Jika seorang perempuan termasuk carrier sebaiknya dia menikah dengan seorang laki-laki normal.
Buta warna bukanlah suatu penyakit berbahaya yang sampai menyebabkan kematian. Sebab itu, orang tua yang dianugerahi Allah putra putri yang buta warna, hendaknya tidak perlu terlalu gelisah.
Masih banyak bidang ilmu yang bisa dipelajari seorang yang buta warna. Juga banyak pekerjaan yang bisa diraih dengan sukses oleh seorang yang buta warna. (*)