KLATEN – Perajin tahu dan tempe paling terdampak kenaikan harga kedelai impor. Sebagai catatan, harga kedelai saat ini mencapai Rp 10.000 per kilogram (kg). Berbagai upaya dilakukan untuk sekadar bertahan. Salah satunya dengan mengurangi berat tempe per kemasan.
Salah satu perajin yang masih bertahan yakni Rumah Tempe Srikandi di Desa Geneng, Kecamatan Prambanan. Usaha yang dikelola PKK desa setempat itu menolak mogok produksi.
“Ukuran dan bentuknya sama. Hanya saja, beratnya kami kurangi. Sebelumnya 250 gram jadi 210 gram,” jelas ketua kelompok Rumah Tempe Srikandi Ani Widyaswati.
Kenaikan harga kedelai sangat memengaruhi produksi tempe. Sebelum harga kedelai meroket, mampu mengolah 50 kg kedelai per hari. Kini, hanya mampu mengelola 10 kg kedelai per hari.
Sejatinya, perajin bisa beralih ke kedelai lokal. Namun, harganya justru lebih mahal. Mencapai Rp 12.000 per kg. Selain itu, stok kedelai lokal minim di pasaran.
“Pemasok kedelai dari Prambanan juga. Kenaikan harga sudah kami rasakan sejak dua minggu lalu. Dari Rp 9.200 menjadi Rp 9.800, dan sekarang Rp 10.000 per kg,” imbuhnya.
Anggota Rumah Tempe Srikandi Zuli Dwi Okta menambahkan, perajin butuh pemihakan dari pemerintah daerah. Saat ini banyak perajin tahu dan tempe di Klaten menolak mogok produksi. “Tempe yang kami produksi lebih slim (tipis) dari sebelumnya. Kami berharap ada perhatian pemerintah terkait kenaikan harga kedelai,” ujarnya.
Menanggapi masalah ini, Kepala Dinas Pertanian Ketahanan Pangan dan Perikanan (DPKPP) Klaten Widiyanti mengaku minat petani menanam kedelai masih rendah. Mengingat harga jualnya juga rendah. Jauh di bawah komoditas kacang hijau.
“Tetapi ketika harga naik, apa boleh buat? Luasan tanaman kedelai di Klaten hanya sekitar 2.000 hektare. Sebenarnya DPKPP hendak membagikan bibit kedelai ke petani. Tetap tidak ada yang mau,” tandasnya. (ren/fer/ria)