23.4 C
Surakarta
Sunday, 2 April 2023

Lestarikan Lompya Duleg, Warga Dusun Lemburejo Gelar Tradisi Wetonan Cethik Geni

RADARSOLO.ID – Warga Dusun Lemburejo, Desa Gatak, Kecamatan Delanggu menggelar tradisi Wetonan Cethik Geni, Minggu (12/2/2023). Kegiatan tersebut bagian dari nguri-nguri budaya yang sudah turun temurun ada di kampung tersebut. Disamping itu, tradisi ini juga menjadi media untuk memperlihatkan bagaimana proses pembuatan kuliner khas setempat yakni lompya duleg yang menjadi potensinya.

Setidaknya ada 14 Kepala Keluarga (KK) di Dusun Lemburejo yang berkecimpung menjadi perajin dan penjual lompya duleg. Guna melestarikan kuliner khas dusun tersebut digelarlah tradisi tersebut yang selalu diadakan dalam penanggalan Jawa Minggu wage setiap Februari. Sedangkan acara puncak direncanakan pada Juli mendatang.

Prosesi tradisi wetonan cethik geni diawali dari menghidupkan api dalam sebuah tungku dari salah satu dapur perajin lompya duleg. Kemudian menyalakan teplok atau lentera yang apinya diambil dari tungku hasil pembakaran kayu tersebut. Lentera selanjutnya dibawa menuju pelataran tempat dilaksanakan kenduri toleransi.

Pada kenduri toleransi tersebut terdapat lompya duleg yang sudah dibentuk seperti gunungan. Kemudian didoakan oleh tokoh lintas agama secara bergantian di dusun setempat. Sebelum akhirnya dibagikan kepada warga yang datang.

“Tradisi ini digelar untuk melestarikan budaya leluhur kami. Sekaligus bertujuan memberikan semangat kepada warga. Khususnya kaum muda untuk meneruskan lompya duleg ini sebagai warisan leluhur,” ucap Ketua Komunitas Cethik Geni Dina Prapnawan kepada Jawa Pos Radar Solo, Minggu (12/2/2023).

Lebih lanjut, Dina menjelaskan, mengapa ada kenduri toleransi dalam proses wetonan cethik geni tersebut. Dikarenakan latarbelakang agama dari penjual lompya duleg juga beragam. Tetapi bersatu dalam melestarikan kuliner otentik asal Dusun Lemburejo.

“Disamping menggelar kenduri toleransi juga berziarah ke makam leluhur sesepuh lompya duleg yakni Mbah Karto Purno. Sedangkan tradisi ini dinamai cethik geni, karena diambilkan dari salah satu proses produksi lompya duleg yakni menghidupkan api,” tambahnya.

Seperti diketahu lompya duleg hampir serupa dengan lumpia Semarang tetapi ukuran panjangnya sekitar 5 cm saja. Kulitnya terbuat dari tepung terigu yang dicampur dengan pati onggok dan tambahan air. Sedangkan isinya hanya kecambah saja. Dimasak dengan sedikit minyak goreng dengan menggunakan api sedang selama satu menit.

Dalam menikmati lompya duleg ditemani kuah yang disebut juruh terbuat dari air gula jawa. Kemudian dicampur dengan bawang merah dan bawang putih serta sedikit kecap manis yang telah dihaluskan sebelumnya. Cita rasa gurih, manis dan sedikit asam langsung menyeruak dilidah ketika menyantapnya.

“Pertama kali yang membuat lompya duleg ya Mbah Karto Purno. Mengadopsi dari lumpia Semarang tetapi dibuat dengan ukuran lebih kecil. Dulu awalnya berisikan toge, kubis dan daun pepaya. Sekarang hanya diisi dengan toge saja,” ucap Ketua Paguyuban Lompya Duleg Mugi Langgeng, Didik Bowo Saputro.

Menariknya, perajin dan penjual lompya duleg hanya ada di Dusun Lemburejo saja dengan pemasaran di Klaten dan sekitarnya seperti Boyolali dan Sukoharjo. Sedangkan untuk harganya cukup terjangkau yakni Rp 1.000 mendapatkan empat biji lompya duleg. (ren/dam)

RADARSOLO.ID – Warga Dusun Lemburejo, Desa Gatak, Kecamatan Delanggu menggelar tradisi Wetonan Cethik Geni, Minggu (12/2/2023). Kegiatan tersebut bagian dari nguri-nguri budaya yang sudah turun temurun ada di kampung tersebut. Disamping itu, tradisi ini juga menjadi media untuk memperlihatkan bagaimana proses pembuatan kuliner khas setempat yakni lompya duleg yang menjadi potensinya.

Setidaknya ada 14 Kepala Keluarga (KK) di Dusun Lemburejo yang berkecimpung menjadi perajin dan penjual lompya duleg. Guna melestarikan kuliner khas dusun tersebut digelarlah tradisi tersebut yang selalu diadakan dalam penanggalan Jawa Minggu wage setiap Februari. Sedangkan acara puncak direncanakan pada Juli mendatang.

Prosesi tradisi wetonan cethik geni diawali dari menghidupkan api dalam sebuah tungku dari salah satu dapur perajin lompya duleg. Kemudian menyalakan teplok atau lentera yang apinya diambil dari tungku hasil pembakaran kayu tersebut. Lentera selanjutnya dibawa menuju pelataran tempat dilaksanakan kenduri toleransi.

Pada kenduri toleransi tersebut terdapat lompya duleg yang sudah dibentuk seperti gunungan. Kemudian didoakan oleh tokoh lintas agama secara bergantian di dusun setempat. Sebelum akhirnya dibagikan kepada warga yang datang.

“Tradisi ini digelar untuk melestarikan budaya leluhur kami. Sekaligus bertujuan memberikan semangat kepada warga. Khususnya kaum muda untuk meneruskan lompya duleg ini sebagai warisan leluhur,” ucap Ketua Komunitas Cethik Geni Dina Prapnawan kepada Jawa Pos Radar Solo, Minggu (12/2/2023).

Lebih lanjut, Dina menjelaskan, mengapa ada kenduri toleransi dalam proses wetonan cethik geni tersebut. Dikarenakan latarbelakang agama dari penjual lompya duleg juga beragam. Tetapi bersatu dalam melestarikan kuliner otentik asal Dusun Lemburejo.

“Disamping menggelar kenduri toleransi juga berziarah ke makam leluhur sesepuh lompya duleg yakni Mbah Karto Purno. Sedangkan tradisi ini dinamai cethik geni, karena diambilkan dari salah satu proses produksi lompya duleg yakni menghidupkan api,” tambahnya.

Seperti diketahu lompya duleg hampir serupa dengan lumpia Semarang tetapi ukuran panjangnya sekitar 5 cm saja. Kulitnya terbuat dari tepung terigu yang dicampur dengan pati onggok dan tambahan air. Sedangkan isinya hanya kecambah saja. Dimasak dengan sedikit minyak goreng dengan menggunakan api sedang selama satu menit.

Dalam menikmati lompya duleg ditemani kuah yang disebut juruh terbuat dari air gula jawa. Kemudian dicampur dengan bawang merah dan bawang putih serta sedikit kecap manis yang telah dihaluskan sebelumnya. Cita rasa gurih, manis dan sedikit asam langsung menyeruak dilidah ketika menyantapnya.

“Pertama kali yang membuat lompya duleg ya Mbah Karto Purno. Mengadopsi dari lumpia Semarang tetapi dibuat dengan ukuran lebih kecil. Dulu awalnya berisikan toge, kubis dan daun pepaya. Sekarang hanya diisi dengan toge saja,” ucap Ketua Paguyuban Lompya Duleg Mugi Langgeng, Didik Bowo Saputro.

Menariknya, perajin dan penjual lompya duleg hanya ada di Dusun Lemburejo saja dengan pemasaran di Klaten dan sekitarnya seperti Boyolali dan Sukoharjo. Sedangkan untuk harganya cukup terjangkau yakni Rp 1.000 mendapatkan empat biji lompya duleg. (ren/dam)

Populer

Berita Terbaru

spot_img