23.2 C
Surakarta
Sunday, 2 April 2023

Cendol Warna Ungu, dari Campuran Ubi

Es Dawet Antimainstream khas Pasar Tegalgede, Karanganyar

RADARSOLO.ID – Es dawet satu ini cukup unik. Warnanya buka hijau atau putih pada umumnya, melainkan ungu. Warna tersebut didapat dari ubi ungu. Seperti apa rasanya?

Wilayah lereng Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar terkenal sebagai penghasil ubi ungu. Bahan karbohidrat ini biasa diolah menjadi aneka camilan seperti timus, keripik ubi ungu, wingko hingga bolen. Namun di tangan pasangan suami istri Surono, 40, dan Sri Mulyani, 35, ubi ungu disulap menjadi cendol.

Surono biasa berjualan es dawet ungu di pojok Pasar Tegalgede, Kecamatan/Kabupaten Karanganyar. Keduanya mulai berjualan es dawet ungu sejak tujuh tahun lalu. Gerobaknya yang juga didominasi warna ungu dibuka mulai pukul 09.00 sampai 12.00. Surono juga menerima pesanan melalui pesan singkat.

Ditemui Jawa Pos Radar Solo, Surono menceritakan, cendol ungu dalam es dawetnya ini bahan bakunya sama seperti cendol pada umumnya, yakni tepung onggok atau tepung aren. Hanya saja, pewarnanya menggunakan ubi ungu.

”Jadi (ubi ungu, Red) hanya diambil saripatinya saja untuk menghasilkan pewarna ungu dari ubi. Kemudian dicampur dengan tepung onggok atau tepung aren, baru dimasak seperti bubur sampai matang. Kemudian baru dicetak,” ucap Surono.

Soal rasa, cendol ungu yang dibuat Surono ini punya aroma ubinya. Sehingga lain dari cendol pada umumnya. Dalam satu porsi es dawet ungu ini berisikan cendol, mutiara, agar-agar, tape, santan, dan gula merah. Harganya Rp 4.000 plus tape, sementara jika tidak menggunakan tape hanya Rp 3.500. Wadahnya dengan mangkuk gerabah.

”Kalau minum di tempat cukup bayar Rp 3.500 saja sudah gratis tape,” ucap Surono.

Surono menambahkan, dia memanfaatkan banyaknya ubi ungu di daerah tempat tinggalnya di Kecamatan Tawangmangu. Diakuinya, selama ini belum ada ubi ungu yang dimasak menjadi cendol. Dia akhirnya terinspirasi membuat cendol dari ubi ungu.

”Awal mula pembuatan cendol ungu ini tidak mudah. Banyak mengalami kegagalan saat mencoba. Bahkan eksperimennya saya lakukan selama enam bulan lamanya,” jelas Surono. (mg3/adi/dam)

RADARSOLO.ID – Es dawet satu ini cukup unik. Warnanya buka hijau atau putih pada umumnya, melainkan ungu. Warna tersebut didapat dari ubi ungu. Seperti apa rasanya?

Wilayah lereng Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar terkenal sebagai penghasil ubi ungu. Bahan karbohidrat ini biasa diolah menjadi aneka camilan seperti timus, keripik ubi ungu, wingko hingga bolen. Namun di tangan pasangan suami istri Surono, 40, dan Sri Mulyani, 35, ubi ungu disulap menjadi cendol.

Surono biasa berjualan es dawet ungu di pojok Pasar Tegalgede, Kecamatan/Kabupaten Karanganyar. Keduanya mulai berjualan es dawet ungu sejak tujuh tahun lalu. Gerobaknya yang juga didominasi warna ungu dibuka mulai pukul 09.00 sampai 12.00. Surono juga menerima pesanan melalui pesan singkat.

Ditemui Jawa Pos Radar Solo, Surono menceritakan, cendol ungu dalam es dawetnya ini bahan bakunya sama seperti cendol pada umumnya, yakni tepung onggok atau tepung aren. Hanya saja, pewarnanya menggunakan ubi ungu.

”Jadi (ubi ungu, Red) hanya diambil saripatinya saja untuk menghasilkan pewarna ungu dari ubi. Kemudian dicampur dengan tepung onggok atau tepung aren, baru dimasak seperti bubur sampai matang. Kemudian baru dicetak,” ucap Surono.

Soal rasa, cendol ungu yang dibuat Surono ini punya aroma ubinya. Sehingga lain dari cendol pada umumnya. Dalam satu porsi es dawet ungu ini berisikan cendol, mutiara, agar-agar, tape, santan, dan gula merah. Harganya Rp 4.000 plus tape, sementara jika tidak menggunakan tape hanya Rp 3.500. Wadahnya dengan mangkuk gerabah.

”Kalau minum di tempat cukup bayar Rp 3.500 saja sudah gratis tape,” ucap Surono.

Surono menambahkan, dia memanfaatkan banyaknya ubi ungu di daerah tempat tinggalnya di Kecamatan Tawangmangu. Diakuinya, selama ini belum ada ubi ungu yang dimasak menjadi cendol. Dia akhirnya terinspirasi membuat cendol dari ubi ungu.

”Awal mula pembuatan cendol ungu ini tidak mudah. Banyak mengalami kegagalan saat mencoba. Bahkan eksperimennya saya lakukan selama enam bulan lamanya,” jelas Surono. (mg3/adi/dam)

Populer

Berita Terbaru

spot_img