24.1 C
Surakarta
Sunday, 28 May 2023

Simbol Ketulusan dan Keseriusan Menjamu Tamu

Sagon Makanan Khas Lereng Merapi-Merbabu

RADARSOLO.ID – Selain kental akan tradisi dan budaya, lereng Merapi-Merbabu Boyolali memiliki beragam makanan khas. Salah satunya sagon. Seperti apa rasanya? Berikut ulasannya.

Camilan manis dari parutan kelapa dan tepung ketan ini jadi jajanan pelengkap tiap musim sadranan di wilayah tersebut. Rasanya, tak afdhol jika tak mencicipinya saat musim Ruwah tiba. Jajanan sagon memiliki tekstur yang gurih dan manis. Bentuknya, seperti gulungan camilan dengan sepanjang 10 sentimeter. Rasanya perpaduan gurih kelapa dengan manisnya gula. Renyah di luar, namun kenyal di dalam. Suguhan sagon menjadi simbol keseriusan dan ketulusan.

Warga Dusun/Desa Cepogo, Sri Lestari, 66, mengamini, ada tiga hidangan khas berbahan ketan yang afdol ada tiap sadranan tiba. Pertama, jadah, camilan dari beras ketan dan santan yang ditumbuk hingga memadat juga kenyal. Kemudian, tape, beras ketan kukus yang difermentasi dengan ragi. Tepat hari ketiga bisa dinikmati sebagai camilan penghangat badan.

”Kalau jadah, itu wajib biar rezekinya keket (lengket tidak gampah habis,Red). Ketiga makanan itu jadi ciri khas masyarakat sini tiap sadranan pasti buat. Saya pasti buat sendiri, sagon, jadah, tape,” ungkapnya, kemarin (10/3).

Lestari mengaku, selalu menyajikan dan membuat sagon sendiri tiap musim Ruwah tiba. Sejak 1974, pertama kalinya dia diboyong ke Sukabumi, Cepogo. Sagon hingga jadah menjadi makanan khas tiap hajatan dan ruwah. Dia belajar membuat sagon secara otodidak. Melihat langsung dari mertua dan tetangga tiap memasaknya.

Bahan-bahannya kelapa parut sebanyak empat butir, tepung beras ketan 0,5 kilogram dan gula 0,5 kilogram. Ketiga bahan tersebut dicampurkan sedikit demi sedikit agar gula dan tepung tercampur dengan baik dalam parutan kelapa.

”Mencampurnya memang sedikit demi sedikit. Kalau sudah, bahan campuran tadi ditaruh ke cetakan atau sangan yang sudah dipanasi dan sudah diolesi minyak. Tujuannya biar gak lengket. Masaknya pakai api kecil biar matang. Kalau sudah panas, ditaburi gula sedikit dan dipadatkan dengan sendok. Kalau sudah menguning bawahnya, sudah matang. Tinggal diambil,” katanya.

Sagon yang masih panah lantas diangkat dan diletakan di daun pisang. Baru digulung agar lebih mudah dimakan. Empar kelapa parut tersebut bisa menghasilkan 75 biji sagon. Tak dipungkiri, sagon memang menjadi incaran para tamu. Tak ayal, setiap sadranan akan muncul pembuat sagon dadakan.

”Pembuatannya cepet, paling hanya 30 menit. Karena sekarang praktis cetakannya sudah tidak tanah liat, meski ada yang bahan gerabah. Sekarang ada yang dari alumunium, satu sangan ada empat cetakan. Jadi cepat,” pungkasnya.

Pemerhati sejarah, Warin Darsono,34, mengungkapkan, sagon tak hanya sebatas camilan. Namun, mengandung makna keseriusan dan ketulusan. Sehingga tak ayal, sagon selalu hadir di tiap acara-acara hajat masyarakat. Baik di pernikahan, khitanan, sadranan dan lainnya.

”Dalam pembuatan sagon, harus benar-benar diperhatikan dan dijaga. Karena kalau tidak fokus, bisa gosong. Sehingga tidak bisa dimakan. Apalagi sagon biasanya untuk hidangan tamu. Juga mengandung keseriusan serta ketulusan dalam meminta maaf. Kerena pas sadranan biasanya orang-orang berkumpul salah satunya ya makan bareng dari kudapan yang dibuat oleh mereka,” jelasnya.

Menurut Warin, di beberapa tempat, sagon menjadi kudapan sambil bersih kubur bersama atau bubak. Sekaligus menjadi momentum ziarah makam dan mendoakan leluhur.

”Orang yang minta maaf itu harus fokus dan sungguh-sungguh, seperti orang makan sagon. Kalau nggak fokus, bisa keloloden (tersedak, Red), apalagi kalo makan sambil bercanda,” tandasnya. (rgl/adi/dam)

RADARSOLO.ID – Selain kental akan tradisi dan budaya, lereng Merapi-Merbabu Boyolali memiliki beragam makanan khas. Salah satunya sagon. Seperti apa rasanya? Berikut ulasannya.

Camilan manis dari parutan kelapa dan tepung ketan ini jadi jajanan pelengkap tiap musim sadranan di wilayah tersebut. Rasanya, tak afdhol jika tak mencicipinya saat musim Ruwah tiba. Jajanan sagon memiliki tekstur yang gurih dan manis. Bentuknya, seperti gulungan camilan dengan sepanjang 10 sentimeter. Rasanya perpaduan gurih kelapa dengan manisnya gula. Renyah di luar, namun kenyal di dalam. Suguhan sagon menjadi simbol keseriusan dan ketulusan.

Warga Dusun/Desa Cepogo, Sri Lestari, 66, mengamini, ada tiga hidangan khas berbahan ketan yang afdol ada tiap sadranan tiba. Pertama, jadah, camilan dari beras ketan dan santan yang ditumbuk hingga memadat juga kenyal. Kemudian, tape, beras ketan kukus yang difermentasi dengan ragi. Tepat hari ketiga bisa dinikmati sebagai camilan penghangat badan.

”Kalau jadah, itu wajib biar rezekinya keket (lengket tidak gampah habis,Red). Ketiga makanan itu jadi ciri khas masyarakat sini tiap sadranan pasti buat. Saya pasti buat sendiri, sagon, jadah, tape,” ungkapnya, kemarin (10/3).

Lestari mengaku, selalu menyajikan dan membuat sagon sendiri tiap musim Ruwah tiba. Sejak 1974, pertama kalinya dia diboyong ke Sukabumi, Cepogo. Sagon hingga jadah menjadi makanan khas tiap hajatan dan ruwah. Dia belajar membuat sagon secara otodidak. Melihat langsung dari mertua dan tetangga tiap memasaknya.

Bahan-bahannya kelapa parut sebanyak empat butir, tepung beras ketan 0,5 kilogram dan gula 0,5 kilogram. Ketiga bahan tersebut dicampurkan sedikit demi sedikit agar gula dan tepung tercampur dengan baik dalam parutan kelapa.

”Mencampurnya memang sedikit demi sedikit. Kalau sudah, bahan campuran tadi ditaruh ke cetakan atau sangan yang sudah dipanasi dan sudah diolesi minyak. Tujuannya biar gak lengket. Masaknya pakai api kecil biar matang. Kalau sudah panas, ditaburi gula sedikit dan dipadatkan dengan sendok. Kalau sudah menguning bawahnya, sudah matang. Tinggal diambil,” katanya.

Sagon yang masih panah lantas diangkat dan diletakan di daun pisang. Baru digulung agar lebih mudah dimakan. Empar kelapa parut tersebut bisa menghasilkan 75 biji sagon. Tak dipungkiri, sagon memang menjadi incaran para tamu. Tak ayal, setiap sadranan akan muncul pembuat sagon dadakan.

”Pembuatannya cepet, paling hanya 30 menit. Karena sekarang praktis cetakannya sudah tidak tanah liat, meski ada yang bahan gerabah. Sekarang ada yang dari alumunium, satu sangan ada empat cetakan. Jadi cepat,” pungkasnya.

Pemerhati sejarah, Warin Darsono,34, mengungkapkan, sagon tak hanya sebatas camilan. Namun, mengandung makna keseriusan dan ketulusan. Sehingga tak ayal, sagon selalu hadir di tiap acara-acara hajat masyarakat. Baik di pernikahan, khitanan, sadranan dan lainnya.

”Dalam pembuatan sagon, harus benar-benar diperhatikan dan dijaga. Karena kalau tidak fokus, bisa gosong. Sehingga tidak bisa dimakan. Apalagi sagon biasanya untuk hidangan tamu. Juga mengandung keseriusan serta ketulusan dalam meminta maaf. Kerena pas sadranan biasanya orang-orang berkumpul salah satunya ya makan bareng dari kudapan yang dibuat oleh mereka,” jelasnya.

Menurut Warin, di beberapa tempat, sagon menjadi kudapan sambil bersih kubur bersama atau bubak. Sekaligus menjadi momentum ziarah makam dan mendoakan leluhur.

”Orang yang minta maaf itu harus fokus dan sungguh-sungguh, seperti orang makan sagon. Kalau nggak fokus, bisa keloloden (tersedak, Red), apalagi kalo makan sambil bercanda,” tandasnya. (rgl/adi/dam)

Populer

Berita Terbaru

spot_img