BALAI Taman Nasional Gunung Merbabu sudah berusaha ekstrakeras guna memastikan keamanan dan keselamatan pendaki. Namun, hal tersebut akan sia-sia ketika masih ada pendaki ilegal yang tak terpantau.
Menyelesaikan tantangan tersebut, Balai Taman Nasional Gunung Merbabu menggandeng warga lokal untuk ikut mengawasi sekaligus terlibat dalam pemanfaatan potensi kepariwisataan di kawasan setempat.
Selama ini, pengawasan ketat sudah dilakukan di jalur resmi ini. Tapi tak jarang, pendaki ilegal nekat masuk kawasan Gunung Merbabu meski sedang dilakukan penutupan aktivitas pendakian dalam kondisi tertentu.
Salah satu fenomena yang tertangkap kamera pemantau di jalur pendakian pada awal tahun ini, sejumlah pendaki ilegal nekat beraktivitas meskipun kegiatan pendakian ditutup karena pandemi Covid-19.
“Petugas langsung mendatangi mereka dan diarahkan untuk segera turun,” tegas Kepala Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Gunung Merbabu Johan Setiawan, kemarin (28/11).

Pengawasan menggunakan kamera pemantau tersebut dioptimalkan dengan melibatkan masyarakat setempat. Balai Taman Nasional Gunung Merbabu merekrut tenaga honorer untuk diperbantukan mengawasi atau bertugas sebagai penunjuk arah maupun pencegahan kebencanaan.
“Jalur pendakian yang kami tutup adalah Gancik karena dianggap ilegal. Pengawasannya kami mengajak warga lokal untuk menjadi tenaga honorer. Dengan demikian, pengawasan akan lebih baik,” tuturnya.
Hingga saat ini, ada lima jalur resmi pendakian di Taman Nasional Gunung Merbabu. Seperti jalur pendakian Cuntel, Selo, Suwanting, Thekelan, dan Wekas.
Jalur pendakian Selo yang paling banyak dikunjungi para pendaki. Bahkan 70 persen dari total kunjungan di Taman Nasioanl Gunung Merbabu di mulai dari sini. “Makanya kami terapkan Sidaring di sana dulu, kedepan baru diperluas ke jalur lainnya,” tutur Johan.
Bukan hanya mengawasi pendakian ilegal, warga lokal juga diberdayakan mengelola potensi kepariwisataan. Seperti di wilayah Selo, Boyolali. Pertumbuhan ekonomi masyarakat bergeliat dari bisnis basecamp untuk istirahat para pendaki. Ada pula yang berkembang menjadi usaha semacam biro perjalanan wisata yang siap menyewakan mobil maupun mengantar pendaki ke titik yang diinginkan.
Dengan inovasi tersebut, Balai Taman Nasional Gunung Merbabu menjadi rujukan sejumlah unit pelaksana teknis (UPT) lainnya untuk pengembangan sistem digitalisasi pada pengelolaan kawasan konservasi dan taman nasional di Indonesia.
Hasilnya, terobosan di bidang pemanfaatan teknologi yang sudah dirintis sejak 2018 lalu dan terus dikembangkan ini mengantarkan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu mendapat apresiasi dari kementerian terkait.
“Selain Sidaring, kami juga punya Simeru (sistem informasi terpadu). Sidaring berhubungan dengan sistem pendataan pengunjung dan mitigasi bencana, sedangkan Simeru adalah digitalisasi untuk internal staf di Balai Taman Nasional Gunung Merbabu,” beber Johan.
Sekadar informasi, Taman Nasional Gunung Merbabu mencakup tiga kabupaten, yakni Magelang, Boyolali, dan Semarang. Mengacu keputusan Menteri Kehutanan 135/Menhut-II/2004, memutuskan perubahan fungsi kawasan hutan lindung dan taman wisata alam seluas 5.725 hektare menjadi Taman Nasional Gunung Merbabu.
Dasar penunjukan kawasan itu adalah sumber mata air bagi kehidupan masyarakat sekitar, sebagai habitat flora dan fauna yang dilindungi, dan memiliki potensi wisata alam, serta budaya yang menarik.
Sedikitnya ada delapan wisata alam terfavorit yang bisa dinikmati di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, yakni air terjun Grenjengan Kembar di Desa Munengwaran (Pakis, Magelang); wisata konservasi alam dan budaya Grenden (Pakis, Magelang); wisata outbond Kopeng treetop adventure park di Desa Batur dan Desa Kopeng (Getasan, Semarang).
Selanjutnya wisata alam Kalipasang di Dusun Krengkeng (Getasan, Semarang). Ditambah spot-spot menarik di lokasi top selfie wilayah Resort Wonolelo (Pakis Magelang); Umbol Songo di Desa Kopeng (Getasan, Semarang); wisata goa Slandak di Dusun Grogol (Pakis, Magelang); dan Lempong Sekendi (Pakis, Magelang). (ves/wa/ria)